MAKALAH TEKNIK BUDIDAYA SEMI INTENSIF


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

              Budidaya tambak merupakan suatu kegiatan membesarkan udang/ikan dalam suatu kolam. Agar memperoleh hasil yang optimum maka perlu disiapkan suatu kondisi lingkungan tertentu yang sesuai dengan kehidupan budidaya. Faktor utama yang sangat menentukan produktivitas tambak adalah air dalam petakan tambak, yang merupakan media tumbuh bagi udang/ikan yang dipelihara. Kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan komoditas budidaya perlu diimbangi dengan tercukupinya kuantitas airnya juga. Untuk tambak-tambak semi intensif, usaha terpenting untuk menaikkan produktivitas tambak adalah dengan menyediakan air di kolam tambak dengan kualitas air yang baik serta dengan perbaikan dan penataan kembali prasarana irigasi.
              Untuk budidaya udang membutuhkan air yang payau yang bisa didapatkan pertemuan air pasang dan aliran air dari sungai. Selain itu, lokasi yang sesuai dengan memperhatikan topografi daerah tersebut Permintaan udang vannamei (Penaeus vannamei) sangat besar baik pasar lokal maupun internasional karena memiliki keunggulan nilai gizi dan nilai ekonomis yang tinggi.




1.2.Tujuan
         Mempelajari sistem pembesaran udang vannamei secara semi intensif mengevaluasi faktor-faktor utama yang menentukan keberhasilan budidaya meliputi fasilitas budidaya, persiapan media budidaya, proses pemeliharaan hingga panen.
1.3.Manfaat
         Mahasiswa dapat mengetahui dan mempelajari bagaimana sistem pembesaran udang vannamei dengan sistem budidaya semi intensif.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Klasifikasi Udang Vannamei
Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Paneid pada filum arthropoda. Ada ribuan spesies di filum ini. Namun yang mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri-ciri crustacea yaitu memiliki tiga pasang kaki jalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. indhicus, L. japonicus. L. monodon, L. stylirostris, dan L. vannamei.
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), berikut ini adalah nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi:
Kingdom            : Animalia
Sub Kingdom     : Metazoa
filum                  : Arthropoda
Sub Filum           : Crustacea
Kelas                  : Malacostraca
Sub Kelas           : Eumalacostraca
Super Ordo        : Eucarida
Ordo                   : Decapoda
Sub Ordo           : Dendrobrachiata
Famili                 : Panaeidae
Genus                 : Litopenaeus      
Spesies               : Litopenaeus vannamei

2.2.Morfologi Udang Vannamei
Spesies udang penaeus mempunyai bentuk tubuh yang hampir sama, yaitu terbagi menjadi tiga bagian antara lain: bagian kepala dan dada (Cephalothorax), badan (abdomen), dan ekor. Bagian-bagian tubuh lainnya terdiri dari rostrum, sepasang mata, sepasang antenna, sepasang antennule bagian dalam dan luar, tiga buah maxilliped (Amri, 2006)
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), ada dua bagian utama dari udang vannamei antara lain :
1.   Kepala (thorax)
Kepala udang vannamei terdiri dari antenna, antennula, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxilliped dan lima pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi  dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada cephalothorax yang dihubungkan oleh coxa. Bentuk periopoda beruas-ruas yang berujung dibagian ductylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki jalan ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki jalan ke-4 dan kaki jalan ke-5). Di antara coxa dan dactylus terdapat ruang yang berturut-turut disebut basis, ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies Litopenaeus vannamei dalam taksonomi.



2.   Perut (abdomen)                            
Abdomen terdiri dari enam ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Haliman dan Adijaya (2005), udang vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan dapat melakukan aktivitas berganti kulit luar secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi untuk keperluan sebagai berikut :
a. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
b. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
c. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
2.3.Habitat Udang Vannamei
              Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih ditemukan diperairan lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara70-72 meter (235 kaki). Menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya, dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban dan Sweeney, 1991). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lainnya, dimana mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan kembali ke laut (Elovaara, 2001).
2.4.Kebiasaan Makan Udang Vannamei
           Makanan udang vannamei terdiri dari crustacea dan molusca yang terdapat 85 % didalam pencernaan makanan dan 15 % terdiri dari invertebrata benthis kecil, mikroorganisme penyusun detritus, udang putih demikian juga di alam merupakan omnivora dan scavenger (pemakan bangkai). , amphipouda danplychacetes atau cacing laut (Wyban dan Sweeney, 1991). Lebih lanjut dikatakan dalam pemeliharaan induk udang putih, pemberian pakan udang putih 16 % dari berat total adalah cumi, 9 % cacing dengan pemberian pakan empat kali perhari. Udang mempunyai pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makanan dan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri terhadap makanan yang tersedia lingkungannya. Di alam larva udang biasanya memakan zooplankton yang terdiri dari trochophora, balanos, veliger, copepoda, dan larva polychaeta (Tricahyo, 1995). Udang putih termasuk golongan udang penaeid. Maka sifatnya antara lain bersifat nocturnal artinya aktif mencari makan pada malam hari atau apabila intensitas cahaya berkurang. Sedangkan pada siang hari yang cerah lebih banyak pasif, diam pada rumpon yang terdapat dalam air tambak atau membenamkan diri dalam Lumpur (Nurdjana et al., 1989)

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Persyaratan Lokasi
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), lokasi tambak udang vannamei harus memenuhi persyaratan tambak yang ideal secara teknis maupun nonteknis. Persyaratan lokasi tambak udang vannamei secara teknis sebagai berikut:
1.   Terletak di daerah pantai dengan fluktuasi air pasang surut 2 – 3 m.
2.   Jenis tanah sebaiknya liat berpasir untuk menghindari kebocoran. Jenis tanah gambut atau masam bias menyebabkan pH air menjadi asam.
3.   Mempunyai sumber air tawar dengan debit air cukup besar sehingga kebutuhan air tawar dapat terpenuhi.
4.   Minimal 15 % air kolam harus terganti dengan air baru setiap hari. Udang vannamei hidup pada salinitas 15 – 20 ppt.
5.   Lokasi tambak harus memiliki  green belt  yang berupa hutan mangrove diantara lokasi tambak dengan pantai.
Sementara persyaratan nonteknis lokasi tambak udang vannamei sebagai berikut :
1.   Lokasi dekat dengan produksi udang vannamei.
2.   Dekat dengan sumber tenaga kerja (SDM).
3.   Dekat dengan sentra perekonomian sehingga mempermudah mendapatkan berbagai bahan pokok untuk produksi udang.
4.   Lokasi mudah dijangkau oleh sarana transportasi dan komunikasi.

3.2. Konstruksi dan Tata Letak Tambak
          Lokasi yang digunakan untuk budidaya udang mudah dijangkau Lahan yang digunakan bukan lahan konflik Lingkungan harus layak secara tekhnik maupun non tekhnik Pasokan air yang masuk dan air yang keluar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan Air yang tersedia harus benar-benar bersih dan tidak tercemar oleh limbah.
3.3. Konstruksi Tambak Semi Intensif
            Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut bentuk petakan teratur luas petakan tambak antara 0,5 – 1 hektar  kedalaman air umumnya hanya mampu >90 cm produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana. Tambak semi intensif Padat penebaran pada tambak semi intensif berkisar antara 2-3 ekor/m2. Peralatan kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2 kincir per petak lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan berupa pellet dengan kualitas yang baik.
           Luas tambak yang ada seluas 3 Hektar dengan 10 petakan dengan masing-masing ukuran setiap petaknya 25 x 25 cm, dengan kedalaman tambak 1 meter, lebar pematang 2 meter, panjang pintu air masuk 3 meter, lebar tandon 4,40 meter dan alat yang digunakan dalam pembuatan tambak menggunakan saplak dan kadok toplok (alat pengangkut lumpur), waktu yang di butuhkan saat pembuatan tambak sekitar 2 minggu dan untuk 2 petakan 10 orang pekerja.

3.4. Persiapan Tambak
3.4.1. Pengeringan
Pengeringan tambak dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Adapun pengeringan berfungsi membantu proses oksidasi yang dapat menetralkan keasaman sifat keasaman tanah, menghilangkan gas beracun dan membantu membunuh telur-telur hama yang tertinggal. Proses pengeringan dilakukan selama 3 – 4 hari. Pengeringan dihentikan bila tanah dasar tambak sudah kering, tetapi tidak retak agar bakteri pengurai tetap mampu menjalankan fungsinya mengurai bahan organik pada susasana aerob (Haliman dan Adijaya, 2005).
Ditambahkan oleh Jayanti (2012), pengeringan dilakukan selama 1 bulan sesuai dengan terik matahari hingga tanah menjadi kering. Diharapkan sinar matahari dapat membunuh bakteri pembusuk, menaikan pH tanah, serta memudahkan dalam renovasi tambak agar tidak licin dan berlumpur.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Haliman dan Adijaya (2005), apabila pengeringan dilakukan pada saat musim hujan, dapat dilakukan pencucian petakan tambak dengan memasukan air kedalam tambak kemudian diaduk menggunakan kincir dan dibuang. Pengeringan dengan cara tersebut mempunyai kelemahan, yaitu mempercepat proses penuaan tanah dan unsur hara tanah cepat habis.



3.4.2. Pengapuran
Menurut Jayanti (2012), pemberian kapur ini bertujuan untuk menaikkan pH tanah dan mempertahankannya dalam kondisi yang stabil. Selain itu, diharapkan, setelah pemberian kapur tanah dasar menjadi subur, reaksi kimia yang terjadi di dasar tanah menjadi baik, gas-gas beracun dapat terikat secara kimiawi. Pada umumnya, kapur yang digunakan dalam pengapuran untuk persiapan tambak adalah kapur kaptan dan dolomite yang mengandung unsur magnesium dengan dosis 20 ppm.
Dalam pengapuran ada beberapa jenis kapur lain selain kaptan dan dolomite yang biasa digunakan yaitu batu kapur (crushet shell, CaCO3) dengan dosis 100 kg/ha, kapur mati (slaked lime, Ca(OH)2), dengan dosis 50-100 kg/ha dan dolomit (dolomitic lime, Ca Mg (CO)3) dengan dosis 200-300 kg/ha. Pemberian kapur dapat diberikan pada saat pH  kurang dari 7,5. Bila pH tanah lebih dari 8,5 maka perlu segera dilakukan pergantian air dan penambahan kapur (Haliman dan Adijaya, 2005).
3.4.3. Pemupukan
Pemupukan berfungsi untuk mengembalikan kesuburan tanah, sehingga pakan alami dasar dapat tumbuh dengan baik. Jenis pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk alam maupun pupuk buatan. Untuk pupuk dasar sebaiknya menggunakan pupuk alam, sedangkan untuk air dapat digunakan pupuk buatan (Mujiman dan Suyanto, 2003).
Pada tahap awal air dimasukan ke dalam tambak secara bertahap dan dilakukan pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP dengan dosis masing-masing  200 dan 100 kg/ha dan sebaiknya dalam persiapan lahan tambak digunakan juga pupuk organik (dari jenis pupuk kandang) antara 1000 – 2000 kg/ha (Pusat Riset Perikanan Budidaya, 2007).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Mujiman dan Suyanto (2003), penggunaaan pupuk anorganik untuk menumbuhkan pakan alami dapat menggunakan pupuk urea 150 kg/ha dan TSP (Tripple Superphosphate) 75 kg/ha. Sekitar 5 hari sesudah pemupukan pakan alami akan tumbuh, selanjutnya air dapat ditinggikan.
3.4.4. Pemberantasan Hama dan Penyakit
Pemberantasan hama dan penyakit di tambak bertujuan untuk mengurangi tingkat kerugian yang diakibatkan oleh hama dan penyakit yang dapat menyerang udang vannamei. Menurut Pendapat Herlina (2004), pemberantasan hama dapat dilakukan secara mekanis dan secara kimia (menggunakan obat kimia berupa pestisida atau insektisida). Dalam pemilihan pestisida menjadi sangat penting peranannya, karena pestisida   yang   dipergunakan   untuk   pengendalian   hama   harus memiliki beberapa sifat, antara lain :
1.   Tidak  bersifat   persisten   namun   degradable   (Pemberantasan secara perlahan-lahan)
2.   Memiliki kisaran pemberantasan yang spesifik
3.   Tidak meninggalkan residu yang membahayakan.
4.   Tidak bersifat fitotoksis, yang dapat membunuh alga.
Pemberantasan hama dan penyakit dapat pula dilakukan dengan pemberian klorin dan saponim. Pemberian klorin berfungsi sebagai pembentuk CaO(Cl2) Calsium hypochlorite yang berguna sebagai desinfektan. Selain itu klorin juga berfungsi sebagai pemberantas fitoplankton sehingga air mudah dicerahkan. Sedangkan pemberian saponim berfungsi sebagai bahan racun untuk membunuh ikan lain atau hama yang mengganggu atau merugikan udang vannamei (Haliman dan Adijaya, 2005).
Sedangkan menurut Musthsu (2012), pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida sebanyak 10 liter/ha. Dengan tujuan untuk membunuh jenis ikan-ikanan, kepiting dan udang-udangan. Aplikasi insektisida dilakukan 10 hari sebelum penebaran benur. Hal ini bertujuan agar residu dari isektisida bisa terurai. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan selama 1 minggu dengan membiarkan air tambak. Air tambak ini akan dijadikan air media untuk pembesaran udang. Selain itu dapat juga digunakan saponin dan kaporit dalam tahap pemberantasan hama dan penyakit.
3.4.5. Pengisian Air
Pengisian air diupayakan memanfaatkan pasang surut air laut, tetapi dapat juga digunakan pompa. Pingisian air dilakukan secara bertahap, pada awalnya pengisian air diupayakan cukup sedalam 0,5 m dan diarkan selama 2-3 hari sebelum benur ditebarkan. Baru pengisian air dilakukan setelah pemupukan selesai dengan ketinggian awal 10 cm, agar pakan alami tumbuh dengan baik. Setelah satu minggu air dinaikkan menjadi 20 cm dan dinaikkan terus secara bertahap hingga ketinggian yang diinginkan oleh udang, yaitu sekitar 1-1,5 m (Amri, 2006).
Ditambahkan oleh Tim Karya Tani Mandiri (2009), air yang dimasukan ke dalam tambak secara bertahap, tahap awal diisi setinggi 10 – 25 cm dan biarkan beberapa hari untuk memberi kesempatan bibit-bibit plankton tumbuh. Setelah itu, air dimasukan hingga minimal 80 cm.
3.4.6. Pemasangan Kincir
Kincir yang digunakan berfungsi sebagai penyuplai oksigen di dalam tambak, membantu dalam mengarahkan kotoran dasar tambak ke  arah sentral pembuangan, sehingga mempermudah dalam proses pembersihan dasar tambak. Menurut Amri dan Kanna (2008), setiap kincir berkekuatan 1 HP pada tambak yang memiliki pergantian air cukup mampu mensuplai oksigen untuk 1.000 kg udang vannamei. Perlu diketahui bahwa kebutuhan oksigen dalam air tergantung pada berat total udang (biomassa). Jadi untuk 0,5 ha tambak dengan pergantian air cukup dan target produksi 5,5 ton udang vannamei diperlukan minimal 6 buah kincir berkekuatan 1 HP.
Tambak pembersaran dengan luas sekitar 0,25 ha idealnya menggunakan kincir aerator sebanyak 4 unit, sedangkan tambak 0,5 ha dapat menggunakan kincir aerator sebanyak 6 – 8 unit. Kincir yang digunakan harus memiliki kemampuan untuk mengaerasi dan mensirkulasi air ditambak pembesaran dan budidaya. Pemasangan kincir harus dilakukan secara tepat sehingga menimbulkan arus yang memusat ke daerah Central drainage sehingga mempermudah pembuangan lumpur yang merupakan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang (Erlangga, 2012).


3.5.Penebaran Benur
Beberapa kriteria yang dapat diketahui secara visual (kasat mata) dan dapat juga digunakan sebagai indikator untuk mendapatkan benur udang yang baik dan benur yang sehat memiliki ciri-ciri benur bergerak aktif (berenang) secara mendatar untuk mencari makan, melawan arus dan pada waktu-waktu tertentu menempel di wadah pemeliharaan. Sementara benur yang sakit cenderung melayang, terbawa arus, berenang tanpa arah dengan tubuh melengkung. Benur yang berkualitas baik mempunyai daya saing khususnya dalam mendapatkan makan yang seimbang dalam populasinya yang ditandai dengan ukuran yang seragam (80%) (Erlangga, 2012).
Ditambahkan oleh Erlangga (2012), pemeriksaan kesehatan benur secara visual yaitu ketika masih berada di dalam kantong benur yang abnormal maksimal berjumlah 1 % dari populasi benur di dalam kantong plastik, serta dapat dilakukan pengujian yaitu uji salinitas dengan memindahkan sampel benur ke dalam air bersalinitas 0 ppt selama 15 menit dan dilakukan uji stressing menggunakan larutan formalin 37% dengan dosis 200 ppm per liter air selama 30 menit. Penilaian benur yang baik yaitu pada tahap uji salinitas tingkat kehidupan (SR) lebih dari 20% dan untuk uji stersing tingkat kematian benur di bawah 5%.
            Benur sebelum ditebar dilakukan aklimatisasi yang bertujuan agar benur udang dapat beradaptasi dengan keadaan baru di tambak dan tidak mengakibatkan benur stress hingga mengalami kematian. Aklimatisasi dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik benur ke petakan. Proses adaptasi dilakukan selama 2 jam. Kepadatan penebaran benur vanamei yaitu 100 – 125 ekor/m2. (Marguensis, 2012). Ditambahkan oleh Erlangga (2012), waktu penebaran yang ideal dilakukan pagi hari ketika suhu air tambak rendah berkisar antara 27 – 30 0C. Penebaran benur udang vannamei dilakukan dengan kepadatan 80 – 100 ekor / m2. Sebelum penebaran udang dilakukan pada tambak, sebaiknya dilakukan proses aklimatisasi terlebih dahulu.
Adapun adaptasi yang dilakukan yaitu:
1.   Adaptasi suhu
Plastik wadah benur direndam selama 15 – 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu antara air di tambak dan didalam plastik.
2.   Adaptasi udara
Plastik dibuka dan dibiarkan terapung selama 15 – 30 menit agar terjadi pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik.
3.   Adaptasi salinitas
Dilakukan dengan mencampurkan air tambak ke dalam plastik dengan tujuannya agar terjadi pencampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak.
Penebaran benur sebaiknya dilakukan pagi hari antara pukul 06.00 – 09.00 waktu setempat dengan pertimbangan untuk mendapatkan kadar oksigen yang baik. Pada sore hari kadar oksigen air tambak menurun.
 
3.6.Pengelolaan Pakan
Pengolaan pakan dilakukan karena berkaitan dengan pertumbuhan udang vannamei, kualitas air pemeliharaan dan meningkatkan efesiensi pakan yang digunakan. Menurut Marguensis (2012), selain bertujuan untuk meningkatkan efesiensi pakan yang digunakan serta untuk meminimalkan limbah pakan dalam tambak. Hal ini didukung oleh Erlangga (2012), bahwa hampir 70 – 80% total biaya operasional budidaya udang vannamei ditentukan oleh biaya pakan.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Marguensis (2012), langkah-langkah yang harus diterapkan dalam melakukan pengelolaan pakan adalah sebagai berikut :
1.      Pakan buatan yang digunakan tidak kadaluwarsa dan harus memenuhi standar nutrisi.
2.      Pakan harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering untuk menghindari penjamuran dan kontamonan lain.
3.      Pemberian pakan harus dilakukan dengan tepat untuk menjamin udang mengkonsumsi pakan secara maksimal dan tidak meninggalkan kelebihan pakan di tambak.
4.      Penggunaan pakan segar harus bermutu baik dan tidak mengandung penyakit.
Pakan yang digunakan dalam budidaya udang vannamei intensif yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang digunakan telah dilakukan penumbuhan pada saat persiapan tambak. Pada Penentuan pakan buatan tidak hanya didasarkan pada baunya saja, terutama untuk pakan yang berbentuk pelet, namun ada beberapa pertimbangan lain yang dipakai. Oleh karena udang bersifat bentik (hidup di dasar perairan), pakan yang diberikan harus segera tenggelan  ke dasar tambak. Pakan harus memiliki stabilitas atau daya tahan yang baik, minimal 2 jam. Hal ini terkait erat dengan sifat udang yang termasuk pemakan lambat, tetapi terus menerus, pakan udang juga harus mudah dicerna oleh udang (Haliman dan Adijaya, 2005).
Menurut Andarias (2012), dalam meningkatkan produksi pada usaha budidaya udang vannamei untuk memenuhi syarat gizi diperlukan pakan buatan. Pakan harus mengandung nutrisi yang lengkap dan seimbang bagi kebutuhan ikan atau udang. Karena nutrisi merupakan salah satu aspek yang sangat penting, jika makanan yang diberikan pada ikan mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi, maka tidak saja memberikan kehidupan pada ikan tetapi juga akan mempercepat pertumbuhan. Seperti halnya hewan lainnya, udang juga memerlukan nutrien tertentu dalam jumlah tertentu pula untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan pertahanan diri terhadap penyakit. Nutrien ini meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Menurut Kartika (2013), kandungan protein pakan buatan yang baik bagi udang vannamei yaitu minimal 30%, kandungan lemak yaitu 10%, untuk kandungan karbohidrat yaitu 20%,
Pemberian pakan dengan jumlah yang berlebihan akan berdampak negativ pada kualitas air dan tanah dasar tambak yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kesehatan udang. Kebutuhan pakan udang vannamei meliputi dosis pakan, frekuensi dan pengontrolan pakan. Menurut Marguensis (2012), dosis emberian pakan dari udang mulai ditebar sampai waktu panen bervariasi dimana udang muda perbandingan antara jumlah pakan dan berat tubuhnya lebih tinggi dari udang yang dewasa. Hal ini dikarenakan udang muda metabolismenya lebih tinggi sehingga
membutuhkan pakan yang banyak sebagai sumber energi.
3.7. Pengelolaan Kualitas Air
            Kualitas air tambak terkait erat dengan kondisi kesehatan udang. Kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan secara optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stres akibat perubahan kualitas air di tambak. Beberapa parameter kuallitas air primer yang selalu dipantau yaitu suhu air, salinitas, pH, DO (Dissolved oxygen), dan amoniak. Parameter-parameter  tersebut akan mempengarui proses metabolisme tubuh udang, seperti keaktifan mencari pakan, proses pencernaan, dan pertumbuhan udang (Haliman dan Adijaya, 2005).
3.8.Panen dan Pasca Panen
           Menurut Haliman dan Adijaya (2005), udang vannamei dapat dipanen setelah berumur 120 hari (DOC120, DOC = day of culture) dengan berat berkisar 16 – 20 g/ekor. Pemanenan udang vannamei dapat dilakukan kapan saja, tetapi umumnya pemanenan dilakukan pada malam hari. Selain untuk menghindari terik matahari, pemanenan pada malam hari juga bertujuan untuk mengurangi resiko udang ganti kulit selama panen akibat stres, karena udang yang ganti kulit akan menyebabkan penurunan harga jual.
             Menurut Suyanto dan Mujiman (2002), panen udang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu panen sebagian dan panen keseluruhan (total). Panen sebagian dilakukan dengan tujuan untuk menangkap udang yang besar-besar saja. Alat yang paling umum digunakan untuk panen sebagian yaitu prayang yang terbuat dari bambu. Prayang dipasang di tepi pematang tambak pada malam hari dengan bagian prayang terletak tegak lurus pada pematang dan ujung luarnya tepat berada di mulut prayang. Cara lainnya adalah dengan menggunakan jala. Panen keseluruhan (total) dimaksudkan untuk menangkap seluruh udang yang dipelihara. Pemanenan total dilakukan dengan cara mengeringkan petakan tambak sehingga kedalaman air 10 – 20 cm hanya pada caren. Alat yang digunakan biasanya berupa seser besar yang mulutnya direndam dalam lumpur dasar tambak lalu didorong sambil mengangkatnya jika diperkirakan sudah banyak udang yang masuk ke dalam seser.
            Pasca panen bertujuan untuk menjaga mutu udang tetap tinggi karena udang termasuk produk yang mudah sekali rusak (busuk). Tindakan yang perlu dilakukan pada pasca panen udang vannamei antara lain mencuuci udang ditempat penampungan udang untuk menghilangkan kotoran atau lumpur yang menempel pada tubuh udang. Sortir dan kelompokkan udang berdasarkan ukuran dan kualitasnya. Memasukkan udang yang telah ditimbang secepat mungkin kewadah (box, container) dan tambahkan es. Hal ini merupakan proses pengepakan. Cara pengepakan udang ada dua, yaitu cara berlapis dengan es dan cara teraduk (Haliman dan Adijaya, 2005).

BAB IV
                                        PENUTUP
4.1. Kesimpulan
          Udang putih atau Penaeus vannamei adalah udang yang bagus dibudidayakan ditambak dari pada di kolam Pembenihan udang putih memerlukan salinitas yang tinggi yaitu 2 – 40 ppt dan temperatur airnya antara 23 – 30 derajat. Udang yang dijadikan sebagai induk udang yang baik dan subur pertumbuhannya dan sebaiknya bersifat SPF Keunggulan udang putih adalah dapat meresistensi terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang.











DAFTAR PUSTAKA
AHMAD, T. 1988. Perubahan Penting Mutu Air Tambak Udang. Makalah Seminar Budidaya Udang Intensif BALITBANG Pertanian, Jakarta, 24 hal 
Haliman dan Hadijaya, 2005. Budidaya Udang Vaname Berwawasan Lingkungan.  Departemen kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 32 
Amri. Disain dan Konstruksi Tambak Materi Pelatihan Teknis Budidaya Artemia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 2006. 5p.
Wyban dan Sweeney. (1991) Biology of Milkfish   (Chanos  chanos Forsskal), Aquaculture Departement Southeas Asian Fisheries Development Center, Tibgauan Iloilo Fhilippines.
Jayanti. 2012. Pakan Ikan Dan Udang. Penebar Swadaya Jakarta.
Mujiman dan Suyanto. 2003. Benih udang Skala Kecil. Kanisius.Yogyakarta
Herlina. 2004. Budidaya Udang Vanamei. Swadaya Jakarta.
Amri. K, 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka Tangerang.
Musthsu. 2012. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius., Yogyakarta.
Kisworo, Y. 2007. Analisis Usaha Budidaya Tambak Udang dengan Pendekatan Tata Ruang Wilayah pada Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Batulicin di Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan. Universitas Diponegoro. Semarang. Skripsi
Bambang Agus Murtidjo, 2003, Tambak Air Payau, Dalam : Budidaya Udang dan Bandeng, Kanisius, Yogyakarta.
Eddy Afrianto dan Evi Liviawaty, 2006, Teknik Pembuatan Tambak Udang, Kanisius, Yogyakarta.
               Haliman, Rubiyanto. W dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei. Jakarta : Penebar Swadaya.
               Kanna, Iskandar. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vaname Sistem Resirkulasi Semi Tertutup. Karawang : BPBPLAPU.
               Supriady, Eddy. 2008. Kupas Tuntas Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau, dan Udang Karawang. Karawang : BPBPLAPU.
                Standar Prosedur Operasional (SPO) Budidaya Udang Vannamei di Tambak BPBPLAPU Karawang. 2008.
                Standar Prosedur Operasional Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
  Kordi, M.CH.. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambakyokyakarta: Kanisius







           



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TEKNIK PENANGKAPAN IKAN (BUBU)

MAKALAH EKOLOGI IKAN ( ADAPTASI IKAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU )