KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU DI PULAU PENATA BESAR (Robiansyah)
TUGAS AKHIR
BUDIDAYA PANTAI DAN
LAUT
“KESESUAIAN LOKASI
UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA
KERAMBA JARING APUNG DI
LAUT”
KERAMBA JARING APUNG
IKAN KERAPU
DI PULAU PENATA BESAR
Dosen Pengampuh :
Ir. Hastiadi Hasan, M.M.A.
Oleh :
Robiansyah
Nim : 131110257
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
PONTIANAK
2016
Kata Pengantar
Puji dan
Syukur Penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tuga
Akhir mata kuliah Budidaya Pantai Dan laut dengan judul “Kesesuaian Lokasi
Untuk Keramba Jaring Apung Dilaut” dengan sub Judul “Keramba Jaring Apung Ikan
Kerapu di Pulau Penata Besar”.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan.
Seperti layaknya manusia biasa, dalam menyelesaikan tugas akhir ini Penulis
banyak menemui hambatan dan rintangan, namun berkat kuasa Allah Swt., dan juga
atas bantuan berbagai pihak, tugas akhir ini dapat terselesaikan. Untuk itu
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Kedua
orang tua penulis yang selalu memberi dukungan dan do’a agar penulis tetap
bersemangat dalam menyelesaikan tugas apaun tanpa harus mengeluh dan mengeluh.
2.
Bapak
Ir. Hastiadi Hasan, M.M.A. yang telah memberikan gambaran tentang penyelesaiakn
tugas akhir ini dengan penjelasan yang detil sehingga penulis dapat memahami
maksud dan tujuan dalam penyelesaian tugas ini.
3.
Teman-
teman seperjuanganku dan pihak- pihak yang telah membantu namun tidak dapat di
sebutkan satu persatu yang selalu mendukung dalam penyelesain tugas akhir ini.
Penulis menyadari, bahwa Laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kebaikan di masa
yang akan datang, dan semoga Laporan ini
bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca sekalian.
Pontianak, 4 Desember 2016
Robiansyah
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sebagai
negara kepulauan (juga dikenal sebagai negara maritim), Indonesia memiliki
perairan yang sangat luas, dimana 75% dari luas negara Indonesia berupa
perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 Km, dan Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) seluas 5.800.000 Km2. Dengan demikian jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua
setelah Amerika Serikat, dan Salah satu pulau yang terdapat di Indonesia adalah
pulau Kalimantan yang lebih khusunya adalah Kalimantan Barat.
Provinsi
Kalimantan Barat memiliki 7 (tujuh) Kabupaten/ Kota yang merupakan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP-3-K) yaitu Kab. Sambas, Kota Singkawang, Kab.
Bengkayang, Kab. Pontianak, Kab. Kubu Raya, Kab. Kayong Utara, dan Kab.
Ketapang.
Secara
geografis perairan laut Kalimantan Barat terletak pada 2⁰08’ LU serta 3⁰02’ LS serta diantara
108⁰30’ BT dan 114⁰10’ BT. Dengan batas adminsitrasi Prov. Kalbar :
sebelah utara berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia), pada bagian timur
berbatasan Kaltim dan Kalteng , bagian selatan
Laut Jawa dan Kalimantan tengah dan bagian barat berbatsan dengan Laut
Natuna dan Selat Karimata.
Kalimantan
Barat memiliki panjang garis pantai : 1.398 Km, Luas pesisir pantai dengan luas
: 2,06 Juta Ha, Luas laut sebesar : 3,2 Juta Ha, Luas Kawasan Mangrove :
280.875 Ha, Luas kawasan Terumbu Karang : 72,559.82 hektar,
Luas Padang Lamun : 29.345,5 ha, Kedalaman perairan 10 – 45 m. dengan morfologi
dasar laut yang landau, gradien dasar laut : < 30 %, Tinggi Gelombang : 10 –
120 cm, namun keadaan ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat
Kalimantan Barat khususnya keramba jaring apung di daerah pesisir maupun laut.
Pemanfaatan
kawasan perairan haruslah dilakukan pada lokasi yang sesuai untuk setiap
komoditinya, oleh karena itu untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam
pesisir Kalimantan Barat, penelitian pengenai kajian potensi sumberdaya
perikanan laut sangat diperlukan. Lebih lanjut, untuk mendapatkan suatu
kegiatan budidaya yang berkelanjutan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi,
diperlukan juga suatu pengelolaan kawasan tersebut. Dari hasil kajian ini
diharapkan dapat menjadi petunjuk pengembangan sehingga dapat dijadikan bahan
acuan bagi berbagai pihak terkait seperti dunia usaha dan masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :
a. Bagaimana
syarat lokasi keramba jaring apung berdasarkan parameter Fisika, dan kimia?
b. Bagaimana
Keberadaan Media budidaya dan Lokasi yang Sesuai untuk Keramba Jaring Apung
Ikan Kerapu di Kalimantan barat.
c. Apa saja Masalah dan Solusi yang
dapat dilakukan dalam Budidaya ikan Kerapu di KJA
1.3.Tujuan
Dan Manfaat
Adapun
tujuan dan manfaat dalam penulisan malakah ini ialah sebagai berikut :
a. Untuk
mengetahui syarat lokasi keramba jaring apung berdasarkan parameter Fisika dan
kimia.
b. Untuk
mengetahui Keberadaan Media budidaya dan Lokasi yang Sesuai untuk Keramba
Jaring Apung Ikan Kerapu di Kalimantan barat.
c. Untuk ,engetahui Apa saja Masalah
dan Solusiyang dapat dilakukan dalam Budidaya ikan Kerapu di KJA
II.
PEMBAHSAN
2.1.
Syarat Lokasi Keramba Jaring Apung untuk Ikan Kerapu
Agar
usaha budidaya ikan kerapu dengan kajapung dapat berjalan dengan baik, maka
lokasi areal pembesaran ikan dimana kajapung ditempatkan harus dilakukan
penelitian, sehingga lokasi tersebut benar-benar layak. Beberapa faktor yang
harus diperhatikan dalam penentuan lokasi tersebut antara lain :
A.
Kualitas Fisik air
1. Kecepatan arus:
Kecepatan
arus yang ideal untuk pembesaran ikan Kerapu Macan dan Kerapu Tikus adalah : 15
– 30 cm/detik. Kecepatan arus >30 cm/detik dapat mempengaruhi posisi jaring
dan jangkar. Sebaliknya kecepatan arus yang terlalu kecil dapat mengurangi
pertukaran air dalam jaring, sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan
oksigen, serta ikan mudah terserang parasit.
2. Kecerahan
Kecerhaan perairan yang baik untuk budidaya ikan Kerapu
Macan dan Kerapu Tikus di karamba adalah >4 meter. Hal ini berkaitan dengan
pemantauan ikan di dasar jaring serta pemantauan sisa pakan. Kecerahan yang
rendah karena tingkat bahan organik yang tinggi menyebabkan cepatnya
perkembangan organisme penempel seperti kutu ikan, lumut, cacing, kekerangan dan lain-lain yang dapat menempel pada
ikan dan jaring.
3. Suhu Air
Suhu air yangoptimal sebaiknya 27-32ºC. Hal ini sangat penting
bagi pertumbuhan ikan yang dipelihara. Lokasi budidaya juga sebaiknya terhindar
dari stratifikasi suhu dan oksigen.
B.
Kualitas Kimia Air
Beberapa parameter kualitas kimia
air yang perlu diketahui antara lain :
1.
Salinitas (kadar garam)
Fluktuasi salinitas bisa mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu
makan ikan kerapu yang dipelihara. Oleh karena itu calon lokasi tidak boleh
berdekatan dengan muara sungai kususnya untuk jenis Kerapu Tikus dan Kerapu
Macan. Lokasi di muara sungai sering mengalami stratifikasi salinitas, sehingga
dapat menghambat terjadinya difusi oksigen secara vertikal. Salinitas yang
ideal untuk pembesaran Ikan Kerapu Macan dan Kerapu Tikus adalah 30-33 ppt.
2.
Konsentrasi
Ion Hidrogen (pH)
Kondisi perairan dengan pH netral atau sedikit kearah basa
sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut. Sedangkan jika pH rendah
mengakibatkan aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, lebih mudah
terkena infeksi dan biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas tinggi. Ikan
diketahui mempunyai toleransi pada pH antara 4,0 – 11,0. Pertumbuhan ikan
kerapu Macan dan kerapu Tikus akan baik pada nilai pH normal, yaitu 8,0 – 8,2.
3.
Oksigen terlarut (DO)
Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan
salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut
sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Konsentrasi
oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan
mengurangi daya dukung perairan. Ikan Kerapu Macan dan Kerapu Tikus dapat hidup
layak dalam karamba jaring apung dengan konsentrasi oksigen terlarut kurang
dari 5 ppm.
4.
Senyawa Nitrogen
Bentuk senyawa nitrogen dalam air laut bermacam-macam dan
yang bersifat racun terhadap ikan dan organisme lainnya ada 3 senyawa yaitu
Amonia (NH3-N), Nitrit (NO2-N) dan Nitrat (NO3-N).
5.
Pospat
Kadar posfat yang tinggi di perairan akan menyebabkan
terjadinya eutrofikasi dan akan merangsang tumbuhnya plankton. Jika kondisi
plankton melimpah atau blooming dan terjadi kematian masal (die off) maka akan
menyebabkan penurunan oksigen secara drastis yang akan menyebabkan kematian
masal ikan dan organisme ekuatik lainnya (Adnan, 1994 dalam Mayunar,
1995). Untuk keperluan budidaya ikan kandungan fosfat dalam perairan yang aman
adalah 0,2 – 0,5 mg/l.
C.
Faktor
Pertimbangan Umum
Pertimbangan umum yang dimaksud antara lain meliputi :
1.
Perairan
harus terlindungi dari angin dan gelombang yang kuat.
Badai dan gelombang besar mudah
merusak konstruksi karamba sehingga memperpendek umur rakit. Gelombang
yang terus menerus menyebabkan terganggunya aktovitas pemberian pakan dan juga
dapat menyebabkan ikan menjadi stress dan selera makannya berkurang sehingga
menurunkan produksi. Tinggi gelombang yang disarankan untuk menentukan
lokasi pembesaran ikan Kerapu Tikus dan Kerapu Macan tidak lebih dari 0,5 meter
pada saat musim Barat maupun Timur.
2.
Kedalaman
Perairan
Kedalaman perairan yang ideal untuk
pembesaran ikan kerapu menggunakan KJA adalah 5 – 15 meter. Perairan yang
terlalu dangkal (< 5 meter) dapat mempengaruhi kualitas air yang berasal
dari sisa kotoran ikan yang membusuk dan perairan yang terlalu dangkal sering
terjadi serangan ikan Buntal yangmerusak jaring. Sebaliknya kedalaman >15
meter membutuhkan tali jangkar yang terlalu panjang.
3.
Dasar
Perairan
Pemilihan lokasi yang ideal untuk
budidaya Kerapu Macan dan Tikus adalah yang memiliki dasar perairan berkarang
hidup dan berpasir putih. Hal ini berkaitan dengan habitat asli ikan
Kerapu.
4.
Pasang
surut.
Kondisi pasang surut yang terlalu besar juga akan menyebabkan
terjadinya gangguan terhadap kehidupan ikan kerapu yang dibudidayakan. Hal ini
terjadi terutama pada lokasi perairan yang dekat dengan sumber air tawar
(misalnya didepan muara sungai), yang mana pada waktu surut, air tawar akan
terbawa jauh ketengah laut, sehingga kondisi ini menyebabkan turunnya kualitas
air, terutama menurunnya salinitas dengan drastis dan pH (derajat keasaman).
Lokasi seperti itu kurang baik untuk dijadikan tempat usaha
budidaya ikan kerapu macan, karena fluktuasi salinitasnya sangat besar sekali,
sehingga mempengaruhi nafsu makan, ikan menjadi stress dan pertumbuhannya
terganggu dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan kerapu macan
peliharaan
5.
Jauh
dari limbah pencemaran
Lokasi harus bebas dari bahan
pencemaran yang mengganggu kehidupan ikan. Limbah rumah tangga seperti detergen
dan sampah organik dapat mempengaruhi kondisi perairan atau menjadi pathogen
dan mengganggu ikan secara langsung. Sedangkan limbah buangan tambak dapat
meningkatkan kesuburan perairan yang berakibat suburnya organisme penempel
seperti kutu ikan, teritip dan kekerangan lainnya yang banyak menempel dan
menutupi jaring pemeliharaan.
6.
Tidak Mengganggu Alur Pelayaran
Lokasi yang berdekatan atau dialur
pelayaran akan mengganggu ikan pemeliharaan, terutama adanya gelombang yang
ditimbulkan serta limbah bahan bakar perahu atau kapal motor tersebut.
7.
Dekat
dengan sumber pakan
Ada dua jenis pakan yang diberikan
untuk ikan kerapu yaitu pakan buatan dan pakan ikan segar. Untuk pakan
segar perlu diperhatikan tentang ketersediaannya di sekitar lokasi budidaya.
Hal ini berkaitan dengan jenis ikan segar, serta kualitas pakan segar. Apabila
jauh dari tempat pelelangan ikan, maka dapat dilakukan dengan menjalin
kerjasama dengan nelayan bagan.
8.
Dekat
dengan sarana dan prasarana transportasi
Tersedianya sarana dan prasarana
transportasi berupa jalan darat menuju ke lokasi, merupakan lokasi yang sangat
baik karena dapat memudahkan transportasi benih dan hasil panen. Hal ini dapat
melancarkan penjualan hasil panen ke pasar yang dituju
9.
Keamanan
Yang dimaksud dengan aspek ini
adalah terjaminnya keamanan usaha, baik dari tangan-tangan jahil, hama
penyakit, ataupun gangguan lain dari masyarakat sekitar.
10. Konflik Penggunaan Lahan.
Dalam menentukan lokasi tempat usaha budidaya
ikan kerapu, lahan tempat usaha haruslah berbas dari konflik atau masalah
penggunaan lahan, dimana lokasi haruslah bebas dari jalur lalu lintas kapal,
dan juga haruslah memperhatikan perkem-ban gan kota atau daerah (dalam arti
kata sesuai dengan pola tata ruang yang telah disusun oleh pemerintah).
11.
Gangguan alam (badai dan gelombang
besar).
Badai dan gelombang
besar akan merusak kontruksi keramba. Disamping itu badai dan gelombang yang
terus menerus juga mengakibatkan akan terjadinya pengadukan dasar perairan,
sehingga menyebabkan zat-zat organic dan anorganik yang mengendap didasarkan
perairan akan naik keatas, dan ini tertentunya akan menimbulkan dampak buruk
terhadap perairan tersebut seperti menurunnya (buruknya) kualitas air. Semuanya
ini tentunya akan menyebabkan ikan menjadi stress dan selera makannya
berkurang, sehingga dapat menurunkan produksi yang dapat dipanen nantinya.
Tinggi gelombang tidak lebih dari 0,5 meter.
12.
Tenaga
Kerja
Lokasi terpilih merupakan lokasi
yang banyak menyediakan tenaga kerja terampil dan upahnya wajar.
Sebaiknya tenaga kerja diambil dari daerah sekitar usaha.
2.2.
Keberadaan Media budidaya dan Lokasi yang Sesuai
untuk Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu
Berdasarkan
keberadaan keramba budidaya ikan kerapu di pulau penata besar pada tahun 2014
telah berdiri sekitar 20 kurungan keramba dengan ukuran yang sama yaitu 3 meter
x 3 meter, yang di lengkapi dengan lanting (pos jaga), akses jembatan kayu
untuk menyeberangi dari daratan ke
keramba, gudang dan pembangkit listrik. Adanya tembok/ bendungan yang
sengaja di buat untuk menahan gelombang yang datang dari arah laut yang terbuat
dari gerukan batu dan pasir yang ada di tempat tersebut sebelum keramba di
apungkan.
Sedangkan
jika dilihat berdasarkan kesesuian lokasi untuk budidaya ikan kerapu menurut
penulis di pulau penata besar sudah menunjukan kisaran parameter fisika dan
kimia perairan yang memungkinkan dalam budidaya ikan kerapu, dengan
pertimbangan informasi dan data yang
pernah penulis peroleh.
2.2.1. Suhu
Air
Adapun suhu perairan dari data yang penulis peroleh pada
perairan laut pulau penata besar adalah
29,50C. Pada suhu perairan tersebut sangat cocok untuk kegiatan budidaya ikan kerapu, karena suhu yang
optimal sebaiknya 27-32ºC. Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan ikan yang
dipelihara, lokasi budidaya juga sebaiknya terhindar dari stratifikasi suhu dan
oksigen.
Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan
parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan
ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya.
Hela dan Laevastu (1970), hampir semua
populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya,
maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga
keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
Nybakken (1988), sebagian besar biota laut
bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan
dan penyebaran organisme.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada
tahun 1988 bahwa Sebagian besar organisme laut bersifat poikilotermik (suhu
tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air sekitarnya), oleh karenanya pola
penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara
geografik. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada
kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C
menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya
cerna (Trubus Edisi 425, 2005).
Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh
suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan
pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam
rangsangan syaraf.
Suhu merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang
paling jelas, mudah diukur dan sangat beragam. Suhu tersebut mempunyai peranan
yang penting dalam mengatur aktivitas biologis organisme, baik hewan maupun
tumbuhan. Ini terutama disebabkan karena suhu mempengaruhi kecepatan reaksi
kimiawi dalam tubuh dan sekaligus menentukan kegiatan metabolisme, misalnya
dalam hal respirasi. Sebagaimana halnya dengan faktor lingkungan lainnya,
suhu mempunyai rentang yang dapat ditolerir oleh setiap jenis organisme.
Masalah ini dijelaskan dalam kajian ekologi yaitu, “Hukum Toleransi Shelford”.
Dengan alat yang relatif sederhana, percobaan tentang pengaruh suhu terhadap
aktivitas respirasi organisme tidak sulit dilakukan, misalnya dengan
menggunakan respirometer sederhana (Amdah, 2011).
Dibandingkan dengan kisaran dari ribuan derajat yang
diketahui di bumi ini, kehidupan hanya dapat berkisar pada suhu 300oC,
mulai dari -200oC sampai -100oC, sebenarnya banyak
organisme yang terbatas pada daerah temperatur yang bahkan lebih sempit lagi.
Beberapa organisme terutama pada tahap istirahat, dapat dijumpai pada
temperatur yang sangat rendah, paling tidak untuk periode singkat. Sedangkan
untuk jenis organisme terutama bakteri dan ganggang dapat hidup dan berkembang
biak pada suhu yang mensekati titik didih. Umumnya, batas atau temperatur
bersifat membahayakan dibanding atas bawah. Varibilitas temperatur sangat
penting secara ekologi. Embusan temperatur antara 10oC dan 80oC.
Telah ditemukan bahwa organisme yang biasanya menjadi sasaran variabel
temperatur di alam, seperti pada kebanyakan daerah beriklim sedang, cendernung
tertekan, terlambat pada temperatur konstan (Waskito, 1992).
Kehadiran dan keberhasilan suatu organisme tergantung pada
lengkapnya keadaan, ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan
oleh kekurangan maupun kelebihan baik secar kualitatif maupun secara
kuantitatif dari salah satu dari beberapa faktor yang mungkin mendekati
batas-batas toleransi organisme tersebut. Faktor-faktor yang mendekati batas biotik
tersebut meliputi komponen biotik dan komponen abiotik yang berpengaruh
terhadap kehidupan organisme tersebut. Komponen biotik yang dimaksud tidak
terbatas pada tersedianya unsur-unsur yang dibutuhkan, tetapi mencakup pula
temperatur, sinar matahari, air dan sebagainya. Tiap organisme mempunyai batas
maksimum dan minimum terhadap faktor-faktor tersebut, dengan kisaran
diantaranya batas-batas toleransi (Udom, 1989).
Dari hasil suatu pengkajian perintis (Shelford, 1929)
menemukan bahwa telur-telur dan larva atau tingkat punah dari “Codling Moth”
berkembang 7% atau 8% lebih cepat dibawah temperatur yang konstan.
Diperairan tropis perbedaan atau variasi suhu air laut
sepanjang tahun tidak besar; suhu permukaan laut nusantara berkisar antara 27oC
dan 32oC. Kisaran suhu ini adalah normal untuk kehidupan biota laut
di perairan Indonesia. Suhu alami tertinggi diperairan tropis berada dekat
ambang batas penyebab kematian biota laut. Oleh karena itu, peningkatan suhu
yang kecil saja dari alam dapat menimbulkan kematian atau paling tidak gangguan
fisiologis biota laut. (Gesamp,1984) menyatakan bahwa kisaran suhu di daerah
tropis sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup dekat dengan batas suhu
tertinggi (Anonim, 2010).
Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim
pencernaan. Pada proses pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan
banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas
enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat,
sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi.
Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan
cepat lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi,
nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki
energi yang cukup untuk pertumbuhan (Anonim, 2010 dalam Amdah, 2011).
Suhu media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang
terlibat proses katabolisme dan anabolisme. Enzim metabolisme berpengaruh
terhadap proses katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa
nutrien menjadi senyawa baru yang dibutuhkan tubuh). Jika aktifitas enzim
metabolisme meningkat maka laju proses metabolisme akan semakin cepat dan kadar
metabolit dalam darah semakin tinggi. Tingginya kadar metabolit dalam
darah menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu makan tinggi, sehingga
tingkat konsumsi pakan meningkat. Konsumsi pakan yang tinggi akan
meningkatkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh. Energi ini akan
digunakan untuk proses-proses maintenance dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan
(Anonim, 2010).
Respirasi sendiri merupakan proses pertukaran gas oleh
makhluk hidup terhadap lingkungan yang terjadi dengan dua cara yaitu ekspirasi
(mengeluarkan CO2) dan inspirasi (O2 masuk kedalam
tubuh). Respirasi terbagi atas repirasi aerob dan respirasi anaerob. Respirasi
aerob adalah respirasi yang membutuhkan oksigen sedangkan respirasi anaerob
adalah respirasi yang tidak membutuhkan oksigen.
Oksigen di dalam tubuh disimpan dalam darah dalam bentuk
oxyhemoglobin (HbO2) dan disimpan dalam otot dalam bentuk
oxymioglobin. Respirasi juga biasa didefenisikan sebagai proses pembebasan
energi yang tersisa sumber zat energi dalam tubuh organisme melalui proses
kimia dengan menggunakan oksigen. Zat sumber tersebut terdiri atas zat organik
seperti protein, lemak, karbohidrat, dan asam amino (Soesilo, 1986).
Variasi lingkungan menimbulkan masalah yang berbeda bagi
hewan dan tumbuhan. Bila hewan didapatkan pada habitat yang berbeda, tumbuhan
dengan beberapa pengecualian, bila mereka hidup disuatu tempat maka mereka
harus menyesuaiokan diri dengan lingkungannya (Nasir Mochammad, 1993).
Lingkungan yang bervariasi adalah suatu kenyataan bagi
kehidupan tumbuhan dan hewan. Bentuk ragam organisme dipengaruhi oleh tingkat
dan jumlah perubahan lingkungan, perubahan karena musim dan siklus pasang surut
mengahasilkan perubahan pada lingkungan yang diramalkan, siklus yang terakhir
ini adalah perubahan sebagai hasil dari siklus biologi (Haryono, 1984).
2.2.2.
Salinitas
Adapun salinitas perairan dari data yang penulis peroleh pada
perairan laut pulau penata besar adalah
30 ppt. Pada salinitas perairan tersebut
sangat cocok untuk kegiatan budidaya
ikan kerapu, Salinitas yang ideal untuk pembesaran Ikan Kerapu Macan dan Kerapu
Tikus adalah 30-33 ppt.
Salinitas
mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme
perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat
dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. Faktor – faktor yang
mempengaruhi salinitas :
Penguapan, makin
besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan
sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah
itu rendah kadar garamnya.
Curah hujan, makin
besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan
rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan
tinggi.
Banyak sedikitnya
sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke
laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin
sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.
Volume air dan
konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam
pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan melakukan
proses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini adalah insang dan
ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada perbedaan
konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam tubuh
ikan.
Toleransi dan
preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi tergantung tahap
kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa. Salinitas merupakan
faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan
distribusi berbagai stadia hidup. (Reddy, 1993).
2.2.3.
pH
Adapun pH perairan dari data yang penulis peroleh pada
perairan laut pulau penata besar adalah
8 ppt, pada suhu perairan tersebut sangat cocok untuk kegiatan budidaya ikan kerapu. Pertumbuhan ikan kerapu
Macan dan kerapu Tikus akan baik pada nilai pH normal, yaitu 8,0 – 8,2.
Derajat
keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol
tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan dan
mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan
diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak
untuk menunjang kehidupan ikan (Effendi, 2003). Untuk nilai pH yang sesuai
untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,5, sedangkan nilai yang baik untuk oksigen
yang terlarut dalam air untuk menunjang kehidupan organisma di dalam air yaitu
minimal 2 ppm dan nilai amoniak yang tidak berbahaya untuk kelangsungan hidup
ikan yaitu tidak melebihi dari 1 ppm (Setyadi, 2007).
pH
di perairan penting untuk reaksi-reaksi kimia dan senyawa-senyawa yang
mengandung racun. Perubahan asam atau basa di perairan dapat mengganggu system
keseimbangan ekologi. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik (Ghufran & Kordi, 2004). Nilai pH juga
berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas (Effendi, 2003).
pH
air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan
terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan
demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung
garam CaCO3 (Irawan, 2009). Menurut Irawan et al., (2009), perairan dengan pH
rendah mengakibatkan aktivitas tubuh ikan menurun dan kondisi ikan menjadi
lemah, sehingga ikan mudah terkena infeksi penyakit dan bahkan menyebabkan
kematian pada ikan. Menurut Gufran & Kordi (2004), ikan kerapu macan dapat
hidup dengan baik pada pH 7,8-8,3.
2.2.4. Oksigen
Terlarut (Dissolved
Oxygen)
Adapun oksigen terlarut di
perairan dari data yang penulis peroleh pada perairan laut pulau penata
besar 3,1 ppt, pada suhu perairan tersebut sangat cocok untuk kegiatan budidaya ikan kerapu,. Ikan Kerapu Macan dan
Kerapu Tikus dapat hidup layak dalam karamba jaring apung dengan konsentrasi
oksigen terlarut kurang dari 5 ppm.
Oksigen
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan
oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen
adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya
adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan (Salmin,
2005)
Oksigen
terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang sangat vital bagi
kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung
berubah-ubah sesuai dengan keadaan aimosfir.Penurunan kadar oksigen lerlarut
inempuuyai dampak nyata tcrhadap makhluk hidup air (Edward, 2003).
Sumber utama
oksigen terlarut daiam air adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesis
organisme yang mempunyai klorofil yang hidup di perairan. Kecepatan difusi
oksigen dari udara ke dalam air berlangsung sangat lambat, oleh sebab itu,
fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut dalam
perairan (Moriber, 1974 dalam Edward,
2003).
Selain itu
sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara
melalui kontak antara permukaan air dengan udara. Selanjutnya air kehilangan
oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan
respirasi dari semua organisme air (Anonim 2010).
Kelarutan
oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor temperatur dan
oleh jumlah garam terlarut dalam air. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air
terdapat pada suhu 0 oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Konsentrasi ini akan
menurun sejalan dengan meningkatnya suhu air. Dengan peningkatan suhu akan
menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin
rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen
terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara
permukaan air dan udara dan dari proses fotosintesis (Barus, 2004, dalam Anonim
2010).
Oksigen
merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga jika ketersediaannya dalam air
tidak mencukupi kebutuhan ikan, maka segala aktivitas dan proses pertumbuhan
ikan akan tergangu, bahakan akan mengalami kematian. Menurut Zonneveld
dkk.(1991), kebutuhan Oksigen mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan lingkungan
bagi spesies tertentu dan kebutuan konsumtif yang bergantung pada keadaan metabolisme
ikan (Sutimin, 2006).
Pengaruh
oksigen terlarut terhadap fisiologis organisme air terutama adalah dalam proses
respirasi. Berbeda dengan faktor temperatur yang mempunyai pengaruh yang merata
terhadap fisiologis semua organisme air, konsentrasi oksigen terlarut dalam air
hanya berpengaruh secara nyata terhadap organisme air yang memang mutlak
membutuhkan oksigen terlarut untuk respirasinya (Anonim 2010).
Kebutuhan
oksigen pada ikan sangat dipengaruhi oleh umur, aktivitas, serta kondisi
perairan. Semakin tua suatu organisme, maka laju metabolismenya semakin rendah.
Selain itu umur mempengaruhi ukuran ikan, sedangkan ukuran ikan yang berbeda,
membutuhkan oksigen yang berbeda pula. Semakin besar ukuran ikan, jumlah
konsumsi oksigen per mg berat badan semakin rendah. Selain perbedaan ukuran,
perbedaan aktivitas juga membutuhkan oksigen yang berbeda pula. Ikan yang
beraktivitas atau bergerak lebih banyak cenderung membutuhkan banyak oksigen
untuk proses respirasi. Hal ini akan meningkatkan kadar karbondioksida dalam
perairan. Namun demikian, kelarutan oksigen ini sangat ditentukan oleh kondisi
perairan seperti suhu, salinitas dan sebagainya (Anonim 2010).
Ikan
membutuhkan oksigen guna pembakaran untuk menhasilkan aktivitas, pertumbuhan ,
reproduksi dll. Oleh karena itu oksigen bagi ikan menentukan lingkaran
aktivitas ikan, konversi pakan, demikian juga laju pertumbuhan bergantung pada
oksigen dengan ketentuan faktor kondisi lainnya adalah optimum. (Cole, 1991 dalam Sutimin, 2006).
Pada ikan Nila
contohnya, Oksigen terlarut diperlukan untuk respirasi, proses pembakaran
makanan, aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Sumber
oksigen perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer
sekitar 35% dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton.
Kadar oksigen terlarut yang optimal bagi pertumbuhan ikan nila adalah lebih
dari 5 mg/l (Wikipedia, 2011).
Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan
energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan
untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber
utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara
bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut
(Salmin, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari
beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air
dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut.
Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut
akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin
tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi,
karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses
fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar
oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar
oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik.
Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi
tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan
dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada
saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan
oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang
kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Swingle, 1968).
Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari
1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70%
(Huet, 1970). Oksigen memegang peranan
penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan
dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu,
oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik
atau anaerobik.
Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk
mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien
yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi
anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi
lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan
reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara
perlakuanaerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah
tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai
pengoksidasi dan pereduksibahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih
sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme,
sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain
yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air
buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu
diperkaya kadar oksigennya (Salmin, 2005).
DO merupakan perubahan mutu air paling
penting bagi organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50% konsentrasi
jenuh, tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela,
akibatnya ikan akan mati lemas (Ahmad dkk,1998). Kandungan DO di kolam
tergantung pada suhu, banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik
(Lelono, 1986 dalam Anonim, 2008).
2.3.
Masalah dan Solusi yang dapat
dilakukan dalam Budidaya ikan Kerapu di KJA
2.3.1.
Pakan
Yang Kurang berkualitas
Untuk pemeliharaan kerapu secara
tradisional menggunakan pakan ikan rucah. Akan tetapi penggunaan ikan rucah
mempunyai beberapa masalah yaitu: keberadaan/ketersediaannya tidak kontinyu,
memerlukan waktu dan tenaga untuk penyiapan, mutu pakan tidak terjamin,
mempunyai resiko tinggi terhadap penularan penyakit dan mudah menimbulkan
pencemaran pada lingkungan
Saat ini pelet kering untuk kerapu
telah dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut -Gondol
bekerja sama dengan perusahaan pakan dan sekarang secara komersial telah tersedia
di Indonesia. Percobaan yang dilakukan di keramba jaring apung di Teluk
Pegametan membuktikan bahwa perkembangan kerapu dengan pakan pelet kering lebih
bagus dibanding dengan pakan rucah. Untuk pemeliharaan kerapu dengan pakan
pelet kering harus menggunakan benih yang telah terlatih dengan pakan pellet,
untuk benih yang terbiasa dengan pakan ikan rucah tidak bisa berubah atau susah
memakan pelet.
2.3.2.
Penyakit
Kendala utama yang merugikan
pembudidaya adalah penyakit. Sebab apabila ikan yang dibudidayakan sudah
terserang penyakit otomatis ikan tersebut pertumbuhannya kerdil, proses
pemeliharaannya menjadi lebih lama, tingginya konversi pakan, tingkat padat
tebar yang rendah, dan yang sangat ditakutkan adalah kematian.
Dalam
pemeliharaan ikan kerapu masih terdapat kendala, diantaranya adalah tingkat
kematian yang masih relatif tinggi akibat penyakit infeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN). Virus ini umumnya menginfeksi stadia larva sampai yuwana
dan menyerang sistem organ syaraf mata dan otak (Yuasa et al., 2001 dalam
Suratmi dan Aryani, 2007). VNN menyerang secara akut pada ukuran ikan
dibawah 50 g (Sutarmat, 2004). Penyakit akibat infeksi virus masih merupakan
masalah utama dalam budidaya ikan kerapu karena dapat menyebabkan kematian ikan
hingga 100% dalam waktu yang relatif singkat (Suratmi, 2007).
Gejala yang
tampak pada ikan yang terinfeksi VNN berbeda-beda sesuai dengan stadia atau
umur ikan. Ikan yang berumur kurang dari 20 hari apabila terinfeksi VNN tidak
menunjukkan gejala klinis kecuali kemauan makan yang menurun, ditandai dengan
banyaknya sisa rotifer pada air pemeliharaan. Ikan umur 20-40 hari menunjukkan
tingkah laku berenang yang abnormal yaitu ikan berenang di dekat permukaan air
dan selanjutnya terjadi kematian di dasar bak pemeliharaan.
Pada ikan yang
berumur 2-4 bulan yang terinfeksi tampak diam/tidur di dasar jaring. Sedangkan
ikan umur lebih dari 4 bulan terlihat berenang mengampang di atas permukaan air
disertai adanya pembesaran gelembung renang (Sugianti, 2005).
Salah satu usaha penanggulangan dan
pencegahan adalah dengan pengobatan. Pengobatan lebih ditekankan pada
penggunanan pendekatan alami, dengan pendekatan alami diharapkan mampu
memberikan hasil yang maksimal dan tidak mengakibatkan adanya efek samping. Bahan alami yang
digunakan antara lain umbi kunyit, daun sirih, dan buah mahkota dewa. Tidak
diragukan lagi khasiat penggunaannya sudah terbukti dari dahulu kala banyak
digunkan oleh nenek moyang.
2.3.3. Ketersediaan
Benih
Kendala teknis
yang paling banyak ditemukan adalah ketersediaan benih kerapu, karena selama
ini pembudidaya sangat tergantung dari hasil tangkapan di laut. Namun
ketersediaan benih yang berasal dari laut tidak kontinyu dan semakin lama
semakin sedikit
Permasalahan
benih telah dapat sedikit teratasi dengan adanya BBL yang menjual benih kerapu
yang berkualitas tinggi dan harga yang lebih murah, serta hatchery yang
ada di Bali dan Situbondo (Jawa Timur) sehingga pembudidaya kerapu tidak lagi
sepenuhnya bergantung pada benih yang berasal dari laut dan jika pembudidaya
ikan kerapu di pulau penata besar mengalami kekurangan benih ikan kerapa dapat
melakukan pemesanan benih di hatchery yang ada di bali (situbondo).
2.3.4. Modal
Kendala yang dihadapi oleh
masyarakat adalah modal untuk menjalankan budidaya kerapu, khususnya ikan
kerapu macan. Hal ini disebabkan adanya ketakutan pihak perbankan maupun
investor selaku pemilik modal mengenai tingkat keberhasilan budidaya ikan kerapu
khususnya dengan sistem KJA.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
upaya-upaya yang telah dikembangkan saat ini misalnya dengan meningkatkan
agribisnis perikanan, misalnya lebih memacu peningkatan armada penangkapan ikan
(armada semut) yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar (dilengkapi
dengan pabrik es, cold storage, dan unit pengolahan ikan), memang telah
menunjukkan hasil yang posistif, tetapi dalam beberapa tahun terakhir upaya
peningkatan ini mengalami hambatan yang sangat serius sejalan dengan terjadinya
krisis ekonomi yang dialami Indonesia, dimana harga-harga barang yang terkait
langsung dengan Investasi meningkat sampai 3 kali lipat dari harga sebelum
krisis ekonomi.
III.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penulisan tugas pada budidaya keramba
jaring apung yang ada di pulau penata besar adalah sebagai berikut :
1. Suhu pada perairan laut pulau penata
besar adalah 29,5 oC dengan perbandingan suhu yang optimum untuk
budidaya ikan kerapau di laut adalah 27-30oC, ini menyatakan bahwa
suhu perairan tersebut cocok untuk budidaya ikan kerapau.
2. Salinitas pada perairan laut pulau
penata besar 30 ppt, dengan perbandingan salinitas yang optimum untuk budidaya
ikan kerapu dilaut adalah 30-33 ppt. kondisi
ini merupakan kondisi yang baik karena perbedaan salinitas keduanya
tidak melebihi batas toleransi ikan budidaya.
3. pH pada perairan laut pulau penata
besar adalah 8,0 dengan perbandingan pH yang optimum untuk budidaya ikan kerapu
dilaut 8,0-8,2. pH dengan kondisi ini dinyatakan cocok untuk dilakukan
budidaya.
4. Do/ oksigen terlarut pada perairan
laut pulau penata besar adalah 3,1
dengan perbandingan kisaran optimum untuk ikan kerapu adalah 3,1. Pada
kondisi ini sangat cocok untuk dilakukan kegitan budidaya ikan kerapau.
3.2.
Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan pada kesempatan
ini ialah perlunya penelitian kualitas air laut yang ada di Kalimantan barat
mengingat Kalimantan barat sendiri memiliki 7 kabupaten/kota pesisir yang
pastinya memiliki banyak potensi untuk dapat dikembangkan dalam sector budidaya
keramba jaring apaung.
tidak ada daftar pustaka, bahaya plagiat ni,wkwkwkwkw
BalasHapus