KONSERVASI EKOSISTEM PERAIRAN (SUNGAI, DANAU), DAN EKOSISTEM LAUT


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Upaya konservasi perairan di Indonesia tumbuh selaras dengan pembangunan nasional di bidang konservasi sumberdaya ikan, tuntutan masyarakat pesisir serta perkembangan konservasi dunia yang berwawasan global. Kesadaran konservasi di Indonesia bahkan telah muncul jauh sebelum masa penjajahan belanda, hal ini ditunjukan, misalnya pada abad ke-13 (zaman majapahit) telah muncul undang-undang yang mengatur pengelolaan air dan terbitnya ordonansi tentang pengaturan satwa liar pada zaman penjajahan Belanda. Perjalanan konservasi di Indonesia terus bergulir pada masa sebelum kemerdekaan, dan orde-orde pemerintahan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga kini, jejak kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut masih berjalan di beberapa desa pesisir. Di Sulawesi Utara, misalnya, masyarakat Sangihe-Talaud memiliki tradisi eha laut sebagai masa jeda panen ikan selama tiga hingga enam bulan. Maluku dan Irian juga memiliki aturan adat yang dinamakan sasi yang mengatur tata cara pemanenan ikan dengan sistem buka tutup serta banyak contoh kearifan tradisional lainnya di berbagai daerah.
1
Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya kawasan konservasi perairan dalam mendukung pelestarian sumberdaya kelautan dan pesisir, hal ini tercermin dalam deklarasi kawasan konservasi laut pertama tahun 1973 di Pulau Pombo, Maluku. Perjalanan regulasi di bidang konservasi dan pengelolaannya juga tidak kalah dinamis. Hal ini sudah dimulai pada zaman kerajaan dengan “kitab-kitab-nya” hingga terbit beberapa Undang-undang, turunan undang-undang serta perubahannya. Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat maju dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, khususnya yang terkait pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Begitu pula halnya dengan peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat pesisir memiliki kewenangan pengelolaan dan tanggung jawab yang jelas untuk menjaga, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana sejarah konservasi perairan di Indonesia?
2.      Bagaimana pengertian konservasi perairan?
3.      Bagaimana kondisi ekosistem air tawar di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya?
4.      Bagaimana kondisi pantai di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya?
5.      Bagaimana kondisi estuaria di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya?
6.      Bagaimana kondisi mangrove di Indonesia saat ini dan bagaimana usaha konservasinya?
7.      Bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya?
8.      Bagaimana kondisi padang lamun di Indonesia saat ini dan bagaimana usaha konservasinya?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.      Bagaimana sejarah konservasi perairan di Indonesia.
2.      Bagaimana pengertian konservasi perairan.
3.      Bagaimana kondisi ekosistem air tawar di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya.
4.      Bagaimana kondisi pantai di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya.
5.      Bagaimana kondisi estuaria di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya.
6.      Bagaimana kondisi mangrove di Indonesia saat ini dan bagaimana usaha konservasinya
7.      Bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia dan bagaimana usaha konservasinya.
8.      Bagaimana kondisi padang lamun di Indonesia saat ini dan bagaimana usaha konservasinya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Konservasi Perairan di Indonesia
3
Sejarah kegiatan konservasi Indonesia telah dimulai sejak lama, bahkan sebelum Indonesia berada dalam pendudukan Belanda. Masyarakat Indonesia sudah secara turun temurun secara arif memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Banyak bukti di masyarakat tentang pemanfaatan lestari sumberdaya alam ini, seperti adanya panglima laot di Aceh, lubuk larangan di Sumatera, kelong di Batam, mane’e di Sulawesi Utara, sasi di Maluku dan Papua, awig-awig di Lombok. Di jaman pendudukan Belanda, sejarah konservasi dimulai pada tahun 1714 ketika Chastelein mendonasikan 6 ha tanah di daerah Banten untuk dijadikan cagar alam. Setelah itu, suaka alam pertama di Cibodas dideklarasikan secara resmi oleh Direktur Kebun Raya Bogor pada tahun 1889 dalam rangka melindungi hutan serta flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Pada tahun 1913, dibawah pimpinan Dr. S.H. Koorders, Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda mengajukan 12 kawasan perlindungan, yaitu Pulau Krakatau, Gunung Papandayan, Ujung Kulon, Gunung Bromo, Nusa Barung, Alas Purwo, Kawah Ijen beserta dataran tingginya, dan beberapa situs di daerah Banten. Dalam bidang konservasi perairan, pada tahun 1920 keluar Staatsblad No. 396 dalam rangka melindungi sumberdaya perikanan dan melarang penangkapan ikan dengan bahan beracun, obat bius, dan bahan peledak. Setelah itu keluar staatsblad No. 167 Tahun 1941 tentang penataan cagar alam dan suaka margasatwa. Beberapa perkembangan yang signifikan di era ini diantaranya kemudahan kegiatan penelitian laut, riset kelautan melalui operasi Baruna dan Cenderawasih, dan konsep Wawasan Nusantara melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang diperkuat dengan UU No. 4 tahun 1960. Pada tahun 1971 dibentuk Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dibawah Departemen Pertanian sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap kegiatan perlindungan alam. Dan pada tahun 1973 Indonesia ikut meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora dan Fauna) dan dikukuhkan melalui Kepress No. 43 Tahun 1978.
Sumberdaya pesisir dan laut mendapat perhatian lebih besar dengan berdirinya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tahun 1999, yang kemudian berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan dan terakhir berubah nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk menangani kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya pesisir dan laut, kementerian membentuk Direktorat Konservasi dan Taman nasional Laut (KTNL) yang kemudian berubah menjadi Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (Dit. KKJI). Pada awalnya, Dit. KKJI mengembangkan konsep-konsep konservasi dan memfasilitasi upaya konservasi di daerah, yaitu dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Laut yang sering disebut dengan nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), walaupun dalam perjalanan regulasi aturan tidak ada istilah konservasi perairan laut yang meng-address KKLD. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan (KKP) dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP3K). Saat ini telah banyak inisiatif pemerintah daerah mengembangkan konservasi kawasan di perairan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam upaya meningkatkan luasan kawasan konservasi menuju pegelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan (Kementrian Konservasi Perairan, 2013).

B.       Pengertian Konservasi Perairan
Definisi Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup. Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Saat ini telah banyak peraturan perundangan ataupun turunannya sebagai acuan dalam mengembangkan dan mengelola kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya: UU No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah direvisi dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 12 Tahun 2008; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan; Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat; Kepmen KP No. 38/Men/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) No. Per.16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Permen KP No. Per.17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Permen KP No. Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan; Permen KP No. Per.03/Men/2010 tentang Tata Cara Penetapan Perlindungan Jenis Ikan; Permen KP No. Per.04/Men/2010 tentang Pemanfataan Jenis dan Genetika Ikan; Permen KP No. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan dan beberapa Peraturan Menteri (Permen); dan berbagai kebijakan, pedoman dalam pelaksanaannya. Status kawasan konservasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Status Luas Konservasi Perairan (Laut) di Indonesia
C.      Konservasi Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi.
Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah sungai.
1.    Ekosistem Sungai

Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang. Komunitas yang berada di sungai berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan. Komposisi komunitas hewan juga berbeda antara sungai, anak sungai, dan hilir. Beberapa sungai besar dihuni oleh berbagai kura-kura dan ular. Khusus sungai di daerah tropis, dihuni oleh buaya. 

Gambar 1. Ekosistem sungai yang masih alami
2.    Ekosistem Danau
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi.


Gambar 2. Skematis danau


Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah dingin di dasar.

Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi.
Gambar 3. Empat Daerah Utama Pada Danau Air Tawar
3.    Kerusakan Ekosistem Sungai
Kerusakan ekosistem sungai yang akan dibahas adalah tentang sungai yang tercemar limbah pabrik dan sungai yang tercemar karena sampah anorganik.
a.         Sungai yang tercemar karena limbah pabrik ataupun industri-industri lainnya banyak kita jumpai di tengah-tengah kita. Tanpa banyak manusia menyadari bahwa hal ini akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Bukan hanya banjir yang seharusnya dihindari, namun tentang kerusakan ekosistem di dalam sungai tersebut.
 








Gambar 4. Sungai yang tercemar limbah pabrik

b.        Berikutnya adalah sungai yang tercemar karena digunakan oleh warga sekitar sebagai pembuangan sampah anorganik seperti sampah-sampah berbahan plastik. Seperti kita ketahui bahwa sampah anorganik tidak bisa diuraikan, dan zat kimia yang terkandung didalamnya dapat berpengaruh buruk pada komponen ekosistem sungai tersebut. Sampah- sampah tersebut membuat sungai menjadi kumuh, tidak sehat dan yang pasti sangat tercemar.
Gambar 5. Sungai yang tercemar karena sampah
4.    Kerusakan ekosistem danau

Kita patut khawatir dengan kondisi danau di indonesia, sedikitnya ada 10 danau yang dinyatakan terancam keberadannya, karena telah mengalami kerusakan atau penurunan fungsi alami.
Gambar 6. Kondisi danau Laut Timur Kabupaten Aceh tengah

Sangat memprihatinkan danau yang indah ini di ambang kehancuran. Airnya terancam kering. Tiap tahun terjadi penyusutan volume airnya. Dalam masa lima tahun terakhir, airnya sudah surut dua meter. Kepedulian warga sekitarnya juga kurang. Air di danau ini digunakan untuk semua keperluan warga, seperti pengairan sawah dan kebutuhan air warga dari 2 kabupaten. Sehingga membuat debit air terus mengalami penurunan, karena debit air yang diperoleh dengan yang digunakan tidak seimbang.

5.    Konservasi sungai
Konservasi sungai yang dapat dilakukan dengan membentuk kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat antara lain sebagai berikut:
1.    Penanaman Pohon pada daerah-daerah Konservasi DAS
2.    Pemantauan Kualitas Air dengan pengambilan
3.    Penetapan Klasifikasi sumber-sumber air.
4.    Memberi penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai
5.    Sebisa mungkin membuat bantaran sungai menjadi hijau untuk daerah-daerah resapan air sungai.

6.    Konservasi danau
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem danau, diantaranya dengan melakukan konservasi berupa:
a.         Pemerintah setempat sebaiknya membuat larangan tegas seperti mengelurkan perda yang mengatur tentang pambakaran lahan dan hutan
b.        Pelarangan pembuangan sampah dan limbah rumah tangga  kedalam danau
c.          Pemerintah setempat sebaikanya membuat larangan tegas seperti mengelurkan perda yang mengatur tentang pembuangan sampah kedalam danau
d.        Membuat spanduk, pelangkat yang berisikan tinjauan agar tidak membuang sampah kedalam danau
e.         Pembuangan  Limbah Pabrik Toba Pulp Lestari (TPL) Kedalam Danau Toba.
f.          Pemda memberikan teguran /melarang keras agar tidak membuang limbah pabrik kedalam danau
g.        Pabrik sebaiknya sebelum membuang limbah sekitar kawasan danau menetralkan terlebih dahulu zat beracun yang terkandung didalamnya

D.      Konservasi Pantai
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah pesisir laut. Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Karena hempasan gelombang dan hembusan angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat. Menurut koreksi PBB tahun 2008, Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar 95.181 km.

Gambar 7. Ekosistem Pantai
Sedangkan Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Usaha konservasi terhadap hutan pantai ini harus dilakukan, terutama pada daerah-daerah yang menjadikan pantai sebagai sumber kehidupan. Pengrusakan hutan pantai yang terus menerus baik sengaja ataupun tidak akan merusak ekosistem pantai itu sendiri. Beberapa usaha konservasi yang bisa diterapkan misalnya dengan melakukan penyuluhan terhadap masyarakat yang berada diwilayah pesisir pantai. Hasil penelitian menyebutkan dengan strategi penyampaian informasi tertentu dan dengan memperhatikan latar belakang ekonomi akan sangat mempengaruhi keberhasilan usaha konservasi wilayah laut dan pesisir (Utina, 2007)..
Wilayah pesisir tergolong sumberdaya milik bersama, harus tetap lestari dan berkelanjutan. Dengan telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan berupa erosi dan pencemaran akan dapat mengancam keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Menurut Hardin (1968: 162)  bahwa pemanfaatan sumberdaya milik bersama harus mempertimbangkan faktor internalitas lingkungan dan faktor ekstenalitas lingkungan. Yang dimaksud dengan internalitas lingkungan adalah mengambil peran (bertanggungjawab) untuk mengelola dampak lingkungan yang dapat merugikan keselamatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan eksternalitas lingkungan adalah perilaku yang tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukannya sehingga dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Konservasi wilayah pesisir mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi lingkungan hidup. Lingkup pembangunan berkelanjutan meliputi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial yang diterapkan secara seimbang serasi selaras dengan alam. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Purba ed. (2002: 18-20) mengemukakan lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan yakni dengan menggunakan prinsip (1) keadilan antar generasi; (2) keadilan dalam satu generasi; (3) pencegahan dini; (4) perlindungan keanekaragaman hayati; dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif.
Kerusakan lingkungan telah terjadi di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh perilaku manusia di wilayah pesisir dan di daerah sekitarnya. Kerusakan lingkungan tersebut dapat  mengancam fungsi lingkungan hidup wilayah pesisir. Fungsi lingkungan hidup akan mengancam kelestarian tipologi ekosistem pesisir, yang meliputi ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang  tergenang air. Konservasi wilayah pesisir sebagaimana telah diuraikan sebelumnya adalah  upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
Dalam konservasi ada aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Lingkungan yang dimaksud mencakup tumbuhan dan hewan harus sesuai dengan habitatnya sehingga dapat tumbuh optimal. Ekonomi yang dimaksud bahwa untuk melakukan konservasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Konservasi harus memperhitungkan faktor biaya penanaman, biaya perawatan, dan biaya pengamanan. Faktor sosial yang dimaksud adalah bahwa dalam konservasi selayaknya melibatkan masyarakat. Karena dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan dipelihara, dijaga dan dirawat sesuai dengan
Menurut Kastolani (2012), untuk melaksanakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, diajukan beberapa strategi sebagai berikut:

1)        Strategi  pemanfaatan secara lestari  dengan cara:
a)        Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan:
(1)   Membuat aturan atau ketentuan dalam pemanfaatan wilayah pesisir.
(2)   Menerapkan kearifan lokal masyarakat adat dalam pemanfaatannya.
(3)   Memberikan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan.
b)        Membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir:
(1)   Membuat analisis situasi wilayah pesisir.
(2)   Membuat perencanaan program pemanfaatan   
(3)   Membuat rencana pemanfaatan wilayah pesisir.
(4) Monitoring dan evaluasi kesesuaian antara perencanaan dan pemanfaatan.
c)        Mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir:
2)        Strategi perlindungan dengan cara:
a)      Menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen):
(1)  Identifikasi tipologi wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan;
(2) Merumuskan langkah-langkah berkelanjutan dalam melindungi wilayah pesisir.
b)      Menetapkan zonasi perlindungan wilayah pesisir
(1)   Memetakan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan;
(2)   Menetapkan  spesies tumbuhan dan hewan yang dilindungi
3)        Strategi pelestarian yang diajukan:
a)      Menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian.
b)      Membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk melestarikan keanekaragan hayati wilayah pesisir.
c)      Meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir:
(1)  Membangun kesadaran masyarakat  tentang nilai keanekaragaman hayati dalam budaya kontemporer
(2)   Menggunakan sistem pendidikan formal di dalam kelas
(3)   Menggunakan kegiatan-kegiatan di luar sekolah
Konservasi Penyu
Kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian akibat interaksi dengan aktivitas perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tak memadai, perubahan iklim, penyakit serta pengambilan penyu dan telurnya yang tak terkendali merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu. Hewan berpunggung keras ini tergolong hewan yang dilindungi dengan katagori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Selain itu karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang dan unik, sehingga untuk mencapai kondisi “stabil” (kondisi dimana kelimpahan populasi relatif konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Dermawan (2009) menjelaskan program pengelolahan konservasi penyu akan berhasil jika diikuti oleh serangkaian riset atau penelitian terhadap populasinya di seluruh kepulauan Indonesia. Penelitian tersebut penting untuk mendukung upaya pengelolaan secara teknis, antara lain:
1. Pengelolaan penangkaran
Penangkaran penyu pada prinsipnya merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan populasi penyu agar tidak punah dengan meningkatkan daya tahan tubuh penyu dari berbagai gangguan, termasuk penyakit, menjauhkan penyu atau tukik dari hal-hal yang membahayakan kehidupannya (misal dari predator) dan meningkatkan daya tetas telur penyu. Oleh karena itu, stasiun penangkaran penyu harus berada pada sekitar habitat peneluran penyu. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di stasiun penangkaran penyu secara garis besar diantaranya:
a.    Memelihara telur-telur penyu dari berbagai potensi ancaman hingga menetas menjadi tukik dan tukik kembali ke laut dengan aman. Kegiatan ini dapat dilakukan di stasiun penangkaran (alami maupun buatan) maupun di sarang-sarang penyu bertelur.
b.    Memelihara tukik yang dipelihara di stasiun penangkaran hingga cukup kuat untuk dilepas ke laut. Untuk kebutuhan pengamatan, penelitian dan ekspose, sebaiknya ada sejumlah tukik yang ditinggalkan di stasiun penangkaran penyu.
c.    Melakukan monitoring kepada setiap penyu yang mendarat di lokasi-lokasi peneluran yang berada pada wilayah pemantauannya. Pemantauan yang dilakukan, diantaranya jenis dan jumlah penyu yang mendarat, jumlah penyu yang bertelur, jumlah telur setiap penyu, dimensi telur penyu, panjang dan bobot (jika memungkinkan), dll.
d.   Melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi penyu secara berkelanjutan. Beberapa lokasi penangkaran penyu atau sejenisnya yang ada di Indonesia diantaranya:
1)        Penangkaran penyu sisik di Pulau Pramuka, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
2)        Penangkaran penyu sisik di Pulau Kerabak Ketek, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat
3)        Penangkaran penyu Sukamaju di Pekon Muara Tembulih.
4)        Program penyelamatan penyu di Kuta, Bali

2. Penanggulangan parasit dan penyakit
Penyakit yang dapat menyerang tubuh penyu antara lain:
a.    Jenis-jenis teritip yang melekat mulai dari ”flipper”, leher, karapas dan plastron (Gambar 8).
Gambar 8. Tubuh penyu dipenuhi oleh teritip (Sumber: ãSeaPics.com)



b.    Penyakit tumor (Gambar 9).
Gambar 9. Penyakit tumor yang menyerang tubuh penyu (Sumber: ãSeaPics.com)

c.    Parasit pada bagian-bagian tubuhnya, seperti lumut dan jamur (Gambar 10).
Gambar 10. Seluruh tubuh penyu dipenuhi oleh parasit dalam bentuk lumut (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Bali)

Selain itu, penyakit pada penyu dapat juga ditimbulkan karena sistem pemeliharaan penyu yang tidak memenuhi syarat ekologis seperti pergantian air tidak kontinyu. Hal ini dapat mengakibatkan lingkungan perairan menjadi kurang sehat sehingga mudah menimbulkan berbagai penyakit seperti Dermatitis, Helminthiasis dan Tuberculosis. Beberapa langkah penanggulangan yang harus dilakukan dalam upaya pengelolaan konservasi penyu, yaitu:
-       Melakukan karantina terhadap penyu-penyu yang berpenyakit, baik yang dewasa maupun tukik, agar tidak menular kepada penyu-penyu yang lain.
-       Pemberian obat secara rutin kepada penyu-penyu yang berpenyakit hingga sehat kembali menciptakan kondisi lingkungan perairan yang sehat dan memenuhi syarat ekologi bagi kehidupan penyu, terutama di penangkaran penyu
-       Pemberian pakan yang cukup, sehat dan bergizi bagi tukik agar didapat penyu yang sehat dan tahan penyakit sebelum dilepas ke alam.
E.       Konservari Estuaria
Estuaria adalah wilayah sungai yang ada di bagian hilir dan bermuara ke laut,  sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran antara air tawar dan air laut. Estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar sehingga bersatu dengan air laut. Partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuaria kaya akan bahan organik. Bahan organik tersebut sebagai cadangan makanan utama,  bagi pertumbuhan mangrove dan organisme lainnya. Komponen fauna estuaria dihuni oleh biota air laut dan air tawar. Komponen fauna estuaria didominasi hewan stenohaline dan hewan eurihaline. Hewan stenohaline adalah hewan yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas sampai 30 permil. Sedangkan hewan eurihaline adalah hewan khas laut yang mampu mentolerir penurunan salinitas hingga di bawah 30 permil.
Parameter lingkungan utama ekosistem estuaria antara lain sirkulasi air, partikel tersuspensi dan kandungan polutan. Dengan demikian ekosistem estuaria ini sangat sensitif terhadap perubahan sirkulasi air, tersuspensinya partikel dan polutan.

1.        Kerusakan Wilayah Estuaria
Estuari merupakan wilayah yang sangat dinamis (dynamics area), rentan terhadap perubahan dan kerusakan lingkungan baik fisik maupun biologi (ekosistem) dari dampak aktifitas manusia di darat ataupun pemanfaatan sumberdaya perairan laut secara berlebihan (over-exploited). Beberapa hal yang dimungkinkan menjadi sumber kerusakan dan perubahan fisik lingkungan wilayah estuaria antara lain:
a.    Semakin meningkatnya penebangan hutan dan jeleknya pengelolaan lahan di darat, dapat meningkatkan sedimentasi di wilayah estuaria. Laju sedimentasi di wilayah pesisir yang melalui aliran sungai bisa dijadikan sebagai salah satu indikator kecepatan proses kerusakan pada wilayah lahan atas, sehingga dapat menggambarkan kondisi pada wilayah lahan atas.  Sedimen yang tersuspensi masuk perairan pantai dapat membahayakan biota laut, karena dapat menutupi tubuh biota laut terutama bentos yang hidup di dasar perairan seperti rumput laut, terumbu karang dan organisme lainnya. Meningkatnya kekeruhan akan menghalangi penetrasi cahaya yang digunakan oleh orgnisme untuk pemapasan atau berfotosintesis. Banyak-nya sedimen yang akhirnya terhenti atau terendapkan di muara sungai dapat mengubah luas wilayah pesisir secara keseluruhan, seperti terjadinya perubahan garis pantai, berubahnya mulut muara sungai, terbentuknya delta baru atau tanah timbul, menurunnya kualitas perairan dan biota-biota di muara sungai.
b.    Pola pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang tidak memperhatikan daya dukung produktifitas pada suatu kawasan estuaria, seperti sumberdaya perikanan, sehingga kawasan muara sungai tersebut terus mendapat tekanan dan menyebabkan menurunnya produktifitasnya
c.    Meningkatnya pembangunan di lahan atas (up-land) menjadi kawasan Industri, pemukiman, pertanian menjadikan sumber limbah yang bersama-sama dengan aliran sungai akan memperburuk kondisi wilayah estuaria. Lebih dan 80% bahan pencemar yang ditemukan di wilayah pesisir dan laut berasal dari kegiatan manusia di darat UNEP (1990).
d.   Kegiatan-kegiatan kontruksi yang berkaitan dengan usaha pertanian, seperti pembuatan saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan akan mengganggu pola aliran alami daerah tersebut. Gangguan ini meliputi aspek kualitas, volume, dan debit air. Pengurangan debit air yang di alirkan bagi irigasi, dapat mengubah salinitas dan pola sirkulasi air di daerah estuaria dan menyebabkan jangkauan intrusi garam semakin jauh ke hulu sungai. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pada sebagian ekosistem perairan pantai itu sendiri, juga pada ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut sehingga berakibat intrusi air laut pada air tanah.
Ancaman terhadap ekosistem estuaria memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan organisme yang berada pada daerah tersebut. Ancaman ekosistem estuaria di antaranya adalah ancaman pendangkalan, pencemaran, dan ancaman Eutrofikasi. Setiap ancaman memiliki solusi dan penaggulangan masing-masing. Seperti penanggulangan Pendangkalan di lakukan dengan cara reboisasi gunung tandus agar tidak terjadi erosisi yang dapat mempercepat laju sedimentasi dan mengakibatkan pendangkalan. Ancaman pencemaran di tanggulangi dengan beberapa cara di antaranya sosialasi kepada masyarakat akan pentingnya ekosisitem estuaria sehingga masyarakat tidak membuang sampah di daerah estuaria.  Penanggulangan Eutrofikasi di negara-negara maju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan (green consumers) hanya membeli produk kebutuhan rumah sehari -hari yang mencantumkan label "phosphate free" atau "environmentally friendly". 

2.        Usaha Konservasi Estuaria
Usaha konservasi ekosistem eustaria dapat dilakukan diantaranya dengan melarang penduduk yang berada di wilayah aliran sungai untuk tidak membuang sampah sembarangan ke dalam sungai. Selain itu dengan pelarangan terhadap pengerukan daerah muara untuk mengambil sumber dayanya. Misalnya pengerukan pasir, batu, ataupun hal-hal lain yang dapat merusak muara sungai. Penyuluhan terhadap masyarakatpun penting dilakukan sebagai upaya preventif terhadap kerusakan ekositem estuaria ini. Cara lain yang harus ditempuh adalah:
(a)      Memperbaiki Daerah Lahan Atas (up-land)
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dampak kerusakan pada ekosistem perairan wilayah estuaria yaitu dengan menata kembali sistem pengelolaan daerah atas. Khususnya penggunaan lahan pada wilayah daratan yang memiliki sungai. Jeleknya pengelolaan lahan atas sudah dapat dipastikan akan merusak ekosistem yang ada di perairan pantai. Oleh karena itu, pembangunan lahan atas harus memperhitungkan dan mempertimbangkan penggunaan lahan yang ada di wilayah pesisir. Jika penggunaan lahan wilayah pesisir sebagai lahan perikanan tangkap, budidaya atau konservasi maka penggunaan lahan atas harus bersifat konservatif. Perairan pesisir yang penggunaan lahannya sebagai lahan budidaya yang memerlukan kualitas perairan yang baik maka penggunaan lahan atas tidak diperkenankan adanya industri yang memproduksi bahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau limbah. Limbah sebelum dibuang ke sungai harus melalui pengolahan terlebih dahulu sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan.



(b)     Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal
Wilayah estuaria yang berfungsi sebagai penyedia habitat sejumlah spesies untuk berlindung dan mencari makan serta tempat reproduksi dan tumbuh, oleh karenanya di dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya di wilayah estuaria diperlukan tindakan-tindakan yang bijaksana yang berorientasi pemanfaatan secara optimal dan lestari. Pola pemanfatan sebaiknya memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity).

(c)      Konservasi Hutan Mangrove
Perlindungan hutan mangrove pada wilayah estuaria sangat penting, karena selain mempunyai fungsi ekologis juga ekonomis. Secara ekologis hutan mangrove adalah sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari serasah, daerah asuhan, mencari makan dan sebagai tempat pemijahan. Secara fisik, hutan mangrove dapat berperan sebagai filter sedimen yang berasal dari daratan melalui sistem perakarannya dan mampu meredam terpaan angin badai. Secara ekonomis, dalam konser-vasi hutan mangrove juga akan diperoleh nilai ekonomis sangat tinggi.
Konservasi Estuaria menurut Kastolani (2012), meliputi kegiatan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian. Deskripsi kegiatannya adalah sebagai berikut:
(1)     Pemanfaatan: Budidaya biota estuaria, nipah sebagai bahan baku gula dan energi bioetanol.
(2)     Perlindungan: Memonitor pembabatan tumbuhan, dan pengambilan hewan di estuaria
(3)     Pelestarian: Penanaman nipah, pembibitan biawak, ikan, dan lain-lain

3.        Contoh Wilayah Konservasi Estuaria
Contoh wilayah yang sudah melakukan konservasi daerah estuarian adalah di Pulau Biawak Kabupaten Indramayu. Pulau biawak tersebut dijadikan sebagai Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Dalam rangka mewujudkan usaha konservasi laut tersebut pemerintah daerah melakukan penataan zonasi sebagai berikut:
·       Zona Inti : sebagai zona perlindungan mutlak, zona ini diperlukan untuk kepentingan perlindungan kawasan (melindungi habitat dan populasi biota laut dan pesisir). Pada blok ini tidak diperkenankan adanya pengembangan fisik kecuali dalam rangka pengamanan kawasan.
·       Zona Penyangga : merupakan zona pemanfaatan terbatas untuk kegiatan wisata minat khusus (semi intensif /terbatas). Kegiatan antara lain; wisata bahari, wana wisata, wisata alam laut (diving, snorkling, memancing) pemanfaatan pada zona ini adalah semi intensif dan multiguna.
·       Zona Budidaya Terbatas adalah zona pemanfaatan untuk kegiatan budidaya laut (marine culture) dan penangkaran jenis-jenis biota laut langka dan jenis-jenis ikan hias. Dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu).

Gambar 11. KKLD Pulau Biawak

F.       Konservasi Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada disekitar muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia memiliki kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ daun, akar, dan batang) logam berat pencemar, sehingga keberadaan mangrove dapat berperan untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran diperairan laut, dan manfaat ekonomis seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan. (Wijayanti, 2007).
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisir (Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
(a)      Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung, biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya;
(b)     Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
(c)      Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya;
(d)     Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik;
(e)      Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
(f)      Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
(g)     Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi.

1.        Kerusakan Mangrove
Kawasan pantai dan ekosistem mangrove menjadi sasaran kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung menitik beratkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat dan keuntungan ekonomis yang diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi kawasan pantai dan semakin berkurangnya luas ekosistem mangrove.
Eksploitasi dan degradasi kawasan mangrove mengakibatkan perubahan ekosistem kawasan pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu karang, keanekaragaman ikan, hutan mangrove, abrasi pantai, intrusi air laut dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna langka, barulah muncul kesadaran pentingnya peran ekosistem mangrove dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai. Pada saat ini telah terjadi konversi ekosistem mangrove menjadi lahan pertanian, perikanan (pertambakan), dan pemukiman yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Padahal kekayaan flora dan faunanya belum diketahui secara pasti, begitu pula dengan berbagai hal yang terkait dengan keberadaan ekosistem mangrove tersebut. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah penanganan konservasi ekosistem mangrove. Adapun beberapa tujuan dari konservasi mangrove adalah :
a.         Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya.
b.        Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam punah.
c.         Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi.
d.        Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan dan penelitian.
e.         Sebagai tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
f.         Sebagai tempat pembanding bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya.
Hilangnya ekosistem mangrove karena dikonversikan untuk penggunaan lain sudah pasti akan berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman hayati di daerah tersebut Untuk menghindari hal tersebut yang perlu dilakukan adalah :
a.         Mengupayakan luasan kawasan konservasi mangrove 20 % dengan dasar pertimbangan terhadap rasionalisasi penggunaan terbesar dari pemanfaatan lahan mangrove diperuntukan pertanian, pertambakan, dan permukiman.
b.        Keberadaan dan kondisi mangrove yang sebenarnya perlu diketahui, sebagai dasar untuk perencanaan dan penetapan kebijakan selanjutnya.
c.         Penetapan beberapa areal mangrove sebagai kawasan lindung.
d.        Perlu ditingkatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan.
e.         Pengenaan pajak untuk areal tambak, agar keinginan membuat tambak berkurang.
Menurut Waryono (1973) bahwa ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukannya dapat dikelompokkan menjadi: (a) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai cagar alam, (b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka margasatwa, (c) kawasan konservasi perlindungan alam, (d) kawasan konservasi jalur hijau penyangga, (e) kawasan hutan produksi mangrove, dan (f) kawasan ekosistem wisata mangrove.

2.        Teknik Rehabilitasi Mangrove
Upaya dalam konservasi mangrove tidaklah membutuhkan waktu singkat. Diperlukan beberapa langkah untuk mewujudkan konservasi mangrove yang berkelanjutan. Pertama kali yang dilakukan tentu saja survey untuk mengetahui keadaan mangrove yang telah ada kemudia disusul dengan sosialisasi kepada masyarakat mengenai perencanaan kegiatan konservasi. Selanjutnya akan dibahas langkah-langkah teknik rehabilitasi mangrove berdasarkan program rehabilitasi mangrove yang telah dilakukan KeSEMaT di Demak, Semarang, Jepara, Rembang dan beberapa lokasi lainnya di Indonesia.
Menurut Priyono (2010), tahapan teknis rehabilitasi mangrove adalah sebagai berikut:
1)   Pembuatan Bedeng
Pembuatan  bedeng  dilaksanakan  secara bersama dengan masyarakat sebagai pelaksana program. Lokasi bedeng, dipilih yang berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Selain itu, harus diperhatikan juga tentang kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng.

Gambar 12. Bedeng persemaian mangrove di Teluk Awur Jepara

Bedeng  bisa  dibuat  dengan  berbagai  macam  tipe,  disesuaikan dengan kondisi, situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng persemaian ditujukan untuk menyemaikan buah-buah mangrove. Ada beberapa macam bentuk bedeng, diantaranya adalah bedeng tingkat dan bedeng tanpa tingkat.
·      Bedeng Tingkat
Bedeng  tingkat  artinya,  dasar  bedeng  ditinggikan  beberapa sentimeter  dari  atas  tanah  dengan  tujuan  untuk  menghindari pemangsaaan bibit mangrove oleh pemangsa misalkan kepiting.
·      Bedeng Tanpa Tingkat
Bedeng  tanpa  tingkat  artinya,  dasar  bedeng  tidak  ditinggikan melainka langsung   menggunaka tana sebaga dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun dengan hanya membutuhkan biaya yang murah.

2)   Survey Lokasi buah mangrove dan pengambilan buah
Buah mangrove diambil dari pohonnya secara langsung. Buah-buah mangrove dari jenis  Rhizophora dan Ceriops, terletak bervariasi di ketinggian yang berbeda. Buah Rhizophora yang diambil adalah buah yang sudah matang, yang ditandai dengan adanya cincin kuning di bagian propagulnya. Untuk  jenis  Sonneratia,  buah  matang dicirikan dengan telah “pecahnya” kulit buah sehingga terlihat biji-bijinya.
Berikut ini adalah gambar propagul (buah vivipari) jenis mangrove Rhizophora apiculata. Anda bisa melihat bagian-bagiannya mulai dari (1) Tangkai, (2) Kelopak Buah, (3) Plumula/Bakal daun, (4) Buah, (5) Keping Buah, (6) Hipokotil, dan  (7) Radikula.

Gambar 13. propagul Rhizopora apiculata

Setelah dipetik dari lapangan, buah mangrove  direndam kurang lebih dua hari atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan  dan  penanaman,  sebelum  kemudian  disemaikan  di bedeng. Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang disukai oleh kepiting.

3)        Pembibitan
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pembibitan mangrove, adalah polibek, buah mangrove berbagai jenis, lumpur, cetok, dan bedeng. Pembibitan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.    Ambil polibek, lalu isi dengan lumpur yang ada di sekitar bedeng.
2.    Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu  penuh, melainkan ¾ dari isi polibek.
3.    Setelah diisi lumpur, lipat bagian atas polibek ke bagian luar, dengan tujuan, pada saat surut dan cuaca  kering, kristal-kristal garam air laut tidak terjebak di dalam polibek yang bisa menghambat pertumbuhan buah mangrove.
4.    Selanjutnya, tanam buah mangrove yang telah dipilih dan berkondisi baik, ke dalam sedimen dengan kedalaman yang cukup.
5.    Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran besar.
6.    Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan  buah-buah  mangrove  tersebut, ke  dalam bedeng.  Sebaiknya, diusahakan agar satu buah bedeng bisa  digunakan  untuk  satu  jenis  mangrove  saja,  agar mempermudah  distribusi  pada  saat  pengambilannya  di tahap penanaman mangrove.
Gambar 14. Pembibitan Rhizophora dan Bruguiera di Semarang

4)        Pembangunan APO (Pemecah Gelombang)
Apabila diperlukan, sebaiknya setelah melakukan tahapan pembibitan  dan sebelum diadakan tahapan penanaman, maka dilakukan tahapan pembangunan pemecah gelombang atau APO. Hal ini dilakukan untuk melindungi bibit-bibit mangrove yang telah ditanam di lokasi program rehabilitasi mangrove. Apo bisa dibedakan dari jenis bahan pembuatnya, bisa dibuat dengan  beton  dan  semen berbentuk bundar, beton dan semen berbentuk segiempat, potongan bambu yang dianyam, dan ban bekas yang dikuatkan dengan potongan bambu.
Gambar 15. Konstruksi APO di Tapak Semarang
5)        Penanaman
Penaman  mangrove,  sebaiknya  dilakukan  pada  saat  air  surut. Namun demikian, apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman  mangrove  bisa  tetap  dilaksanakan  pada  saat  air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar-benar tertancap dengan baik di sedimen dan terikat kuat di samping ajirnya.
Alat  dan  bahan  yang  dipergunakan  untuk  melakukan  tahapan penanaman mangrove adalah bibit mangrove berbagai jenis, cetok, ajir dan tali rafia. Teknik penanamannya sendiri adalah sederhana, yaitu:
a.    Ambil satu bibit mangrove di bedeng.
b.    Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara sembarangan, tapi letakkan polibek di atas ajir.
c.    Tanam langsung  bibit  mangrove ke tanah dengan  cara melubangi tanah dengan cetok, sedemikian rupa sehingga lubang  penanaman  cukup  dalam,  sehingga   akar  bisa tertanam dengan baik.
d.   Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir  dengan menggunakan tali rafia yang telah disediakan.
e.    Timbun  dengan  tanah.  Jangan  terlalu  menekan  tanah, sehingga oksigen bisa dengan leluasa ke luar dan masuk ke tanah.
f.     Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah keranjang/plastik. Selanjutnya, polibek bisa didaur ulang menjadi berbagai macam barang plastik daur ulang.

Gambar 16. Ilustrasi Penanaman Mangrove
6)        Penyulaman
Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit-bibit mangrove yang telah mati dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Cara melakukan penyulaman adalah dengan cara mencari bibit-bibit mangrove yang mati dan menggantinya dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Kemudian, bibit mangrove yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali.

7)        Pemeliharaan
Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dilakukan.  Tahapan  pemeliharaan  mangrove,  memiliki  tujuan jangka panjang untuk memastikan agar bibit-bibit mangrove kita, bisa hidup dalam jangka waktu yang lama.
Gambar 17. Program Rehabilitasi Mangrove

3.        Wilayah Konservasi Mangrove di Indonesia
Indonesia memiliki garis pantai yang membentang di sepanjang kepulauan. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki area mangrove yang sangat luas. Semakin banyaknya konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak ataupun karena adanya serangan bencana menuntut perlu dilakukannya upaya rehabilitasi dan konservasi mangrove di wilayah-wilayah tertentu. Berikut beberapa kegiatan konservasi yang telah dilakukan di Indonesia belakangan ini:
1)   Aksi Pramuka Peduli Lingkungan
Gambar 18. Aksi Penanaman 5.000 pohon

Jakarta, 31 Agustus 2013. Dalam rangka rangkaian acara Hari Cinta Puspa Satwa Nasional (HCPSN) 2013 dan peringatan Hari Pramuka ke-52 Kementerian Lingkungan Hidup bersama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka menyelenggarakan kegiatan Bakti Masyarakat Penanaman Mangrove sekaligus Peresmian Percontohan Persiapan Kegiatan Saka Kalpataru dengan menanam 5.000 (lima ribu) bibit mangrove dengan sistem adopsi pohon di pantai Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Kawasan hutan mangrove ini nantinya dapat dijadikan kawasan konservasi pantai dan percontohan kegiatan Pramuka Peduli Lingkungan atau Saka Kalpataru dalam pembudidayaan mangrove yang menjadi kawasan wisata mangrove lengkap dengan kuliner mangrove. (http://www.menlh.go.id)

2)   BEM IPB Tanam Bakau di Pantai Timur Pangandaran
Minggu, 19 Januari 2014, BEM IPB Tanam Bakau di Pantai Timur Pangandaran di daerah pesisir Pantai Timur Pangandaran, Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pada tahun 2006, kawasan ini diterjang oleh tsunami yang meluluhlantakkan semua yang berada di kawasan tersebut.
Gambar 19. Penanaman Mangrove di Pangandaran

Kegiatan Adopt a Mangrove ini dipandu oleh Himpunan Pecinta Alam (HPA) Ilalang, yang menginisiasi berdirinya Wisata Edukasi Mangrove Pangandaran. Sebelum menanam bakau, teman-teman BEM KM IPB 2013 diberikan penjelasan mengenai seluk-beluk berdirinya Wisata Edukasi Konservasi Mangrove Pangandaran, serta manfaat ekosistem mangrove di daerah pesisir.
3)   Kegiatan Mangrove Replant Kesemat Undip


Gambar 20. Penanaman mangrove di Semarang
KeSEMaT Undip sukses menggelar program konservasi mangrove tahunannya, yaitu Mangrove Replant (MR) 2013 bertema Mangrove For Resilience (MFR). Fokus kegiatan tersebut adalah  kegiatan seminar dan pelatihan mangrove nasional serta penanaman dan pemeliharaan mangrove. Seminar dan pelatihan mangrove nasional dilakukan di Semarang, adapun penanaman dan pemeliharaan mangrove dilaksanakan di Timbul Sloko, Demak, Jawa Tengah. Kegiatan yang digelar di Balai Pengembangan Pendidikan Kejuruan (BP Dikjur) diikuti  pelajar, mahasiswa dan instansi pemerintahan dari seluruh Indonesia. (http//:www.suaramerdeka.com)
4)   “Bali Save Mangrove, Save Earth (BSMSE)”
Denpasar, 26 Maret 2013 diadakan  penanaman mangrove bertema “Bali Save Mangrove, Save Earth (BSMSE)” yang dihadiri oleh Ronaldo yang ditunjuk sebagai Duta Forum Peduli Mangrove (FPM) Indonesia. \Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove, mengajak partisipasi aktif masyarakat guna pelestarian hutan mangrove, dan mengembalikan kondisi ekosesitem serta keragaman hayati bagi tanaman mangrove.
Gambar 21. Penanaman mangrove di Bali
G.      Konservasi Terumbu Karang
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km, serta lebih dari 17.508 pulau. Terumbu karang yang luas melindungi kepulauan Indonesia1). Luas terumbu karang Indonesia sekitar 51.000 km,  18% terumbu karang di dunia, berada di perairan Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing reefs), berdekatan dengan garis pantai dan mudah diakses oleh komunitas setempat. Terumbu karang alami ini mempunyai peran penting dalam mendukung kelestarian sumberdaya ikan dan organisme laut, serta berfungsi sebagai pelindung pantai dari aktifitas gelombang dan arus.  Peranan dan potensi terumbu karang dan ikan karang Indonesia yang berlimpah di atas, mendapat tekanan yang beragam dari aktivitas manusia di daratan dan dari alam itu sendiri seperti praktek penangkapan ikan yang merusak, aktifitasrekreasi pantai, penyaluran kotoran ke laut, masuknya nutrien yang melebihi ambang batas serta oleh kelebihan tangkapan ikan suatu perairan overfishing dimana jika species dan kepadatan ikan pemakan algae mengalami penurunan, maka akan berakibat pada pertumbuhan algae yang lebih cepat dan akan menutupi terumbu karang. Aktifitas lain yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang secara fisik adalah kegiatan penyelaman, penambatan kapal dengan sistem jangkar, endapan pecahan karang di dalam sedimen.  Secara luas di Indonesia, terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok. Di Kepulauan Seribu (perairan bagian utara Jakarta), sekitar 90-95% terumbu karang hingga kedalaman 25 m mengalami kematian. Secara kumulatif, tekanan-tekanan yang terjadi telah sangat merusak terumbu karang Indonesia. Luas terumbu karang yang ada di Indonesia sekitar 51.000 km2 diperkirakan hanya 7 % terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 33 % baik, 45 % rusak dan 15 % lainnya kondisinya sudah kritis). Kondisi terumbu karang yang memprihatinkan tersebut diperparah dengan lemahnya koordinasi dan perencanaan lemaba terkait dalam pencegahan kerusakan dan kegiatan monitoring terumbu karang. Kegiatan monitoring yang dilakukan sangat terbatas. Hanya beberapa area terumbu karang yang dikaji secara rutin, sehingga data kondisi dan perubahan untuk keseluruhan sangat sulit diperoleh. (Dahuri, 2001)
a.      Fungsi Ekologis
Karang tergolong dalam dalam jenis mahluk hidup (hewan) yaitu sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat hewan. Terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu ekosistem termasuk dalam organisme karang merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Coridaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae dan sedikit tambahan alga berkapur serta organisme lain yang menyereksi kalsium karbonat. Karang hermatipik (Hermatypic corals) yang bersimbiosis dengan alga melaksanakan fotosintesis, sehingga peranan cahaya sinar matahari penting sekali bagi Hermatypic corals. Hermatypic corals biasanya hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal di mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan, selain itu untuk hidup lebih baik binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-320 C. Melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan lautan (Supriharyono, 2000). Pada tahun 1972 penggunaan pupuk nitrogen untuk seluruh kegiatan pertanian di Indonesia tercatat sekitar 350.000,- ton, maka pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.500.000,- ton. Total penggunaan pestisida (insektisida) pada tahun 1975 sebesar 2.000 ton, kemudian pada tahun 1984 mencapai 16.000,- ton (Dahuri R.et al. 2001 dalam Yuniarti, 2007)).

b.      Faktor yg Potensial Merusak Ekosistem Terumbu Karang
Dampak  kerusakan  terumbu karang  sebagai  akibat  kegiatan  manusia  baik  di  darat  maupun  di  pesisir  dan lautan seperti pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kegiatan Manusia yang Berdampak pada Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
No.
Kegiatan
Dampak Potensial
1.
Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak.
Perusakan habitat, bila menggunakan bahan peledak dapat menimbulkan kematian masal hewan terumbu karang.
2.
Pembuangan limbah panas
Meningkatkan suhu air hingga 5-100C di atas suhu normal air dapat mematikan karang dan hewan lainnya serta tumbuhan yang berasosiasi dengan terumbu karang.
3.
Penggundulan hutan di lahan atas (up land)
·   Sedimen hasil erosi yang berlebihan dapat mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar muara sungai pengangkut sedimen yang mengakibatkan kekeruhan air sehingga menghambat fungsi zooxsanthellae yang selanjutnya menghambat pertumbuhan terumbu karang.
·   Sedimen yang berlebihan dapat menyelimuti polip-polip dengan sedimen yang dapat mematikan karang, karena oksigen terlarut dalam air tidak dapat berdifusi ke dalam polip.
·   Karang di terumbu karang yang lokasinya dekat dengan banjir akan dapat mengalami kematian karena sedimentasi yang berlebihan dan penurunan salinitas air.
4.
Pengerukan di sekitar terumbu karang
Arus dapat mengangkut sedimen yang teraduk ke terumbu karang dan meningkatkan kekeruhan air yang mengakibatkan seperti yang telah diuraikan di atas.
5.
Kepariwisataan
· Peningkatan suhu air karena pencemaran panas oleh pembuangan air pendingin pembangkit listrik hotel, dengan akibat seperti yang telah diuraikan di atas.
· Pencemaran limbah manusia dari hotel karena limbah ini tidak mengalami pengolahan yang memadai sebelum dibuang ke perairan lokasi terumbu karang, dengan akibat terjadinya eutrofikasi yang selanjutnya mengakibatkan tumbuh suburnya (blooming) fitoplankton yang meningkatkan kekeruhan air dan kemudian terhambatnya zooxanthellae. Selain itu, keruhnya air akan mengurangi nilai estetis perairan terumbu karang.
· Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh jangkar kapal.
· Pengoleksian terumbu karang yang masih hidup dan hewan-hewan lain oleh turis dapat mengurangi keanekaragaman hewani ekosistem terumbu karang.
· Rusaknya terumbu karang yang disebabkan oleh penyelam.
6.
Penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalium sianida (KCN)
· Penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalium sianida bukan saja membuat ikan pingsan namun juga berpotensi membunuh karang dan avertebrata lain di sekitar lokasi, karena hewan-hewan ini jauh lebih peka terhadap zat-zat kimia.
· Penangkapan ikan konsumsi dengan bahan peledak bukan saja mematikan ikan tanpa diskriminasi, tetapi juga koral dan avertebrata lain yang ada di sekitar lokasi.

c.       Usaha Konservasi Terumbu Karang
Banyak kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan fisik bagi karang dan mempengaruhi integritas struktur karang. Pengelola dan para pembuat keputusan harus mengenali dampak manusia yang dapat dikurangi secara mudah, dan berakibat sebaik mungkin bagi terumbu. Ini melibatkan pertimbangan kapasitas dan finansial yang tersedia serta struktur pengelolaan yang ada, juga analisa kemungkinan pemulihan terumbu setelah pemutihan atau bentuk kerusakan lainnya. Oleh karena itu sebelum kita membicarakan pilihan strategi pengelolaan, kita harus mempertimbangkan keadaan umum dari terumbu karang dimasa mendatang. (Westmacott, Susie dkk. 2010)
1. Terumbu karang buatan
Metode sederhana ini adalah dengan menengelamkan struktur bangunan di dasar laut agar dapat berfungsi seperti terumbu karang alami sebagai tempat berlindung ikan. Dalam jangka waktu tertentu, struktur yang dibuat dengan berbagai bahan seperti struktur beton berbentuk kubah dan piramida, selanjutnya membantu tumbuhnya terumbu karang alami di lokasi tersebut. Dengan demikian, fungsinya sebagai tempat ikan mencari makan, serta tempat memijah dan berkembang biak berbagai biota laut dapat terwujud. Dengan adanya terumbu karang buatan ini, diharapkan akan membawa dampak terhadap lingkungan terumbu karang khususnya dan kelimpahan atau terbentuknya suatu ekosistem baru bagi jenis-jenis ikan yang ada di perairan laut.Ada berbagai macam bentuk terumbu karang buatan, yang salah satunya bentuk "pyramid".
            Bentuk ini mempunyai keunggulan mempunyai daya tahan terhadap gempuran arus dan gelombang karena mempunyai bagian dasar yang relative lebih besar dari pada bagian atasnya. Baru-baru ini, masyarakat desa Angsana Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu telah melabuh sebanyak 21 (dua puluh satu) buah terumbu karang buatan bentuk pyramid yang telah dibuat selama beberapa bulan sebelumnya. Terumbu karang ini terbuat dari beton (semen) yang diberi kawat betoniser (sebagai tulang) untuk penguat fisiknya. Bentuk terumbu karang buatan dapat ditunjukan pada gambar 22.
\
Gambar 22. Terumbu Karang Buatan
2.  Pencangkokan
Metode ini dikenal dengan transplantasi. Dengan memotong karang hidup, lalu ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan diharapkan dapat mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak dan dapat pula dipakai untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada. Bibit karang yang sering digunakan pada uji coba transplantasi ini adalah dari genus Acropora yang terdiri dari A tenuis, A austera, A formosa, A hyacinthus, A divaricata, A nasuta, A yongei, A aspera, A digitifera, A valida, dan A glauca. persen. Hal tersebut diperkirakan karena spesies-spesies tersebut memiliki cabang yang kecil dan mudah rapuh. Berdasarkan per tambahan tinggi masing-masing karang tersebut, setelah berumur satu bulan pertambahan tinggi terbesar dialami oleh Acropora yongei (rata-rata 0,4 cm), sedangkan pertambahan tinggi terkecil dialami Acropora digitifera, yakni 0,1 cm. (Santoso, dan Kardono,  2008).
Keberhasilan hidup suatu karang dalam suatu rehabilitasi dapat dilihat dari besarnya ukuran karang transplantasi. Dalam transplantasi karang harus memperhatikan ukuran terumbu karang tersebut, ukuran yang lebih kecil akan memiliki tingkat kematian yang tinggi. Ikan yang dijumpai di terumbu karang mencerminkan secara langsung jumlah dari habitat yang dapat didukung oleh lingkungan terumbu karang. Mengantisipasi kerusakan karang yang sudah serius dan perdagangan karang hias hidup, maka merasa perlu dilakukan suatu solusi agar kondisi karang tidak semakin rusak. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan tindakan konservasi dan rehabilitasi. Salah satu langkah kearah tersebut adalah melakukan penelitian transplantasi karang dengan fragmentasi untuk mencarikan kemungkinan dapat dilakukan untuk menyelamatkan kondisi karang. Trasnplantasi karang dapat dilihat pada gambar  23 dan gambar 24.
Gambar 23. Hasil Transplantasi Karang Usia 1 Tahun dan 4 Tahun

Gambar 24. Hasil Transplantasi Karang setelah Umur 8 Tahun

3.  Mineral Accretionm (Biorock)
Metode ini dikembangkan oleh Thomas J. Goreau and Wolf Hilbertz seorang ahli biologi dari AS. Mereka mengkaitkan terumbu karang pada bronjong-bronjong kawat baja yang dialiri listrik DC (direct current) dengan voltage rendah. Aliran listrik yang mengalir melalui kawat baja tesebut diharapkan dapat merangsang percepatan pertumbuhan karang. Hasil dari transplantasi model ini ternyata lebih cepat 3-5 kali dibanding cara transplantasi cara biasa. (Santoso dan Kardono, 2008).
Faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah suhu air lebih dari 18°C, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23–35°C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 30–40°C, kedalaman perairan kurang dari 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang, salinitas air yang konstan berkisar antara 30–36 ppt dan perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. (Twinandia dkk, 2011).

Cara Kerja Biorock
Biorock bekerja menggunakan proses elektrolisis air laut, yaitu dengan meletakkan dua elektroda di dasar laut  dan dialiri dengan listrik tegangan rendah yang aman sehingga memungkinkan mineral pada air laut mengkristal di atas elektroda. Biorock dibentuk dengan menggunakan struktur ram besi non-galvanisasi sebagai katoda dan karbon, timah atau titanium sebagai anoda. Saat dialiri listrik, struktur biorock ini menimbulkan reaksi elektrolitik yang mendorong pembentukan mineral di struktur katoda. Mineral yang mengendap adalah kalsium karbonat dan magnesium hidroksida. Kedua mineral ini penting karena merupakan struktur dasar dari terumbu karang. Karena pengakresian mineral yang terjadi secara cepat, bibit terumbu karang yang ditanamkan ke struktur biorock dapat tumbuh secara cepat. Endapan mineral ini juga melekatkan struktur dengan dasar laut dan memperkuat struktur. Dilihat dari proses pembentukan deposit mineralnya, akresi mineral bukanlah suatu reaksi oksidasi langsung seperti elektroplatting, tetapi merupakan suatu proses yang tidak langsung, dimana pengendapan mineral terjadi karena suatu hasil sampingan dari perubahan pH di sekitar katoda ketika terjadi proses elektrolisis pada air laut. Ketika klorin dan oksigen terkumpul di sekitar anoda, maka mineral magnesium dan kalsium yang melimpah di air laut akan mengendap di katoda. Ada beberapa alternatif sumber tenaga yang digunakan untuk menjalankan sistem ini, baik dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga matahari (solar cell), pembangkit listrik tenaga pasang surut, generator, aki maupun listrik rumah tangga. Tenaga yang digunakan adalah arus DC dengan kisaran antara 1-24 Volt. Pada beberapa penelitian digunakan tegangan dengan kisaran 6-12 Volt. Sistem kerja biorock dapat dilihat pada gambar 25.

Gambar 25. Sistem Kerja Biorock
Proses Pembuatan Biorock
Langkah pertama dalam pembuatan biorock yaitu mengobservasi daerah yang akan menjadi tempat peletakkan struktur biorock. Lalu dibuat desain yang sesuai dengan kondisi situs peletakkan biorock (Gambar 1).Selanjutnya ram besi non galvanisasi di las membentuk struktur sesuai desain (Gambar 2). Struktur yang telah selesai kemudian diangkut dan diletakkan ke situs biorock (Gambar 3). Proses pembuatan Biorock secara lengkap dapat dilihat pada gambar 26.
Gambar 26. Proses Awal Pembuatan Biorock
Kemudian sistem arus listrik tegangan rendah dipasang pada struktur, menggunakan kabel yang tahan air (Gambar 4 dan 5).Setelah itu pecahan turumbu karang yang masih hidup dikumpulkan sebagai bibit, dan ditempatkan pada struktur (Gambar 6 dan 7). Arus listrik dibiarkan terus mengalir, dan deposit mineral mulai terbentuk (Gambar 8). Deposit ini terbentuk kira-kira 6 kali lebih cepat dibanding dengan kondisi pengendapan normal, dan memperkuat struktur biorock (Gambar 9). Proses lanjut pembuatan Biorock dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 27. Proses Lanjut Pembuatan Biorock
Proses pembuatan biorock tersebut telah di aplikasikan di indonesia. Indonesia  telah melakukan upaya rehabilitasi terumbu karang dengan teknologi ini sejak tahun 2000, yaitu di daerah Pemuteran Bali. Kegiatan ini dipelopori oleh “Karang Lestari Pemuteran” bekerjasama dengan dive shop, pengelola hotel, restoran, para nelayan dan para ilmuan yang memilki kepedulian tinggi terhadap kelestarian terumbu karang. Struktur Biorock yang dipasang di Pemuteran berjumlah 22 struktur dengan bentuk yang sama seperti struktur yang ada di pulau Kwadule, Kuna Yala, Panama. Struktur ini ditempatkan pada kedalaman 120 kaki. Biorock di Pemuteran Bali memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi dari 19 negara lain yang juga menerapkan metode biorock ini, oleh karena itu Biorock di Pemuteran telah 5 kali meraih penghargaan baik lokal maupun internasional. Kunci keberhasilan Biorock di Pemuteran Bali adalah karena keterlibatan dari berbagai pihak terutama masyarakat sekitar terutama kelompok nelayan dan Pecalang laut (polisi desa/adat). Keberhasilan penerapan biorock di daerah Pemuteran, Bali dapat menjadi tolak ukur bagi rehabilitasi situs-situs terumbu karang lain di seluruh Indonesia. Sayangnya teknologi biorock ini masih dalam masa paten dan masih sedikit diterapkan sehingga biayanya relatif mahal. Rata-rata suatu struktur biorock memerlukan biaya perawatan sekitar 5 juta per bulan. Untuk ke depan, diharapkan biorock dapat menjadi teknologi tepat guna yang bebas diterapkan oleh masyarakat pesisir untuk melestarikan terumbu karang mereka.  (Anonim, 2010)
d. Strategi Pengelolaan Terumbu Karang
Suatu pengelolaan yang baik adalah yang memikirkan generasi mendatang untuk dapat juga menikmati sumberdaya yang sekarang ada. Dengan demikian dalam pengelolaan terumbu karang haruslah mempertimbangkan hal sebagai berikut  : Pertama, melestarikan, melindungi, mengembangkan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau kualitas terumbu karang dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta memikirkan generasi mendatang. Kedua, mendorong dan membantu pemerintah daerah untuk menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat serta memenuhi standar yang ditetapkan secara nasional berdasarkan pertimbangan-pertimbangan daerah yang menjaga antara upaya ekploitasi dan upaya pelestarian lingkungan. Ketiga, mendorong kesadaran, partisipasi dan kerjasama/kemitraan dari masyarakat, pemerintah daerah, antar daerah dan antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan terumbu karang. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dalam pengelolaan terumbu karang diperlukan strategi sebagai berikut:
1.        Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung pada pengelolaan terumbu karang
2.        Mengembangkan mata pencaharian alternatif yang bersifat berkelanjutan bagi masyarakat pesisir.
3.        Meningkatkan penyuluhan dan menumbuhkembangkan keadaan masyarakat akan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem nya melalui bimbingan, pendidik an dan penyuluhan tentang ekosistem terumbu karang.
4.        Memberikan hak dan kepastian hukum untuk mengelola terumbu karang bagi mereka yang memiliki kemampuan.
5.        Mengurangi laku degradasi kondisi terumbu karang yang ada saat ini
6.        Mengidentifikasi dan mencegah penyebab kerusakan terumbu karang secara dini.
7.        Mengembangkan program penyuluhan konservasi terumbu karang dan mengembangkan berbagai alternatif mata pencaharian bagi masyarakat local yang memanfatakannya.
8.        Meningkatkan efektifitas penegakan hukum terhadap berbagai kegiatan yang dilarang oleh hukum seperti pemboman dan penangkapan ikan dengan Cyanide.
9.        Mengelola terumbu karang berdasar kan karakteristik ekosistem, potensi, pemanfaatan dan status hukumnya
10.    Mengidentifikasi potensi terumbu karang dan pemanfaatannya.
11.    Menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

e. Sekilas Tentang COREMAP
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation Management Program) (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang adalah program nasional bangsa Indonesia yang bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan terumbu karang dan merehabilitasi terumbu karang yang telah dan mulai rusak. Dalam melaksakan program ini telah ditentukan lima langkah penting yaitu :
1.    Menyadarkan masyarakat memahami arti penting terumbu karang dan melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan secara lestari.
2.    Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan memperkuat kordinasi antarinstansi dalam perencanaan dan implementasi kebijaksanaan yang mempengaruhi pengolaan terumbu karang.
3.    Mengembangkan pengelolaan berbasis masyarakat dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pengguna terumbu karang.
4.    Membentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang untuk menyebarkan informasi dari hasil monitoring, meneliti dan mengevaluasi status dari terumbu karang.
5.    Penegakan hukum.
Tujuan umum COREMAP adalah untuk melindungi, merehabilitasi dan memanfaatkan terumbu karang dan ekosistimnya secara berkelanjutan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Dalam tahapan proyek COREMAP, tujuan umum tersebut telah dijabarkan dalam bentuk sasaran yang ingin dicapai dalam setiap tahap. Strategi yang akan dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan tersebut akan dititik beratkan pada kegiatan berikut:
1.    Penyadaran masyarakat (public awareness)
2.    Peningkatan pelaksanaan hukum
3.    Peningkatan kerjasama kelembagaan
4.    Penikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang (community base management/CBM)
5.    Peningkatan penelitian dan informasi terumbu karang (Coral Reef Information and Training Centre/CRITC)

f. Bentuk Konservasi Terumbu Karang yang dilakukan di Indonesia Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Community Base Management)
Program COREMAP yang dilaksanakan di Kecamatan Senayang Lingga Kepulauan Riau adalah Community Base Management atau Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Program ini telah berjalan lebih kurang 33 bulan. Kegiatan ini meliputi 7 buah desa dampingan yaitu untuk Kecamatan Senayang yaitu Desa Pulau Medang, Desa Temiang, Desa Pasir Panjang, Desa Mamut dan Kelurahan Senayang, sedangkan untuk Kecamatan Lingga dilakukan di Desa Sekanah dan Desa Limbung. Kegiatan ini melibatkan masyarakat, LSM dan pemerintah dan instansi terkait. Dengan proses dimulai dari masyarakat (bottom up). Tiap-tiap desa dibimbing oleh 1 orang pendamping (fasilitator). Fasilitator dibantu oleh perangkat-perangkat kelembagaan yang melibatkan masyarakat desa itu sendiri seperti :
1.        Motivator, tugasnya adalah memberikan motivasi kepada masyarakat di desanya agar dapat menjaga terumbu karang dari kerusakan
2.        Reef Watcher, bertugas memantau keadaan karang dan melaporkan kejadian yang terjadi yang merusak karang seperti pengeboman dan penggunaan alat tangkap trawl
3.        Kelompok Masyarakat (Pokmas) Produks, bertugas memanfaatkan dan meningkatkan potensi desa serta pengelolaan potensi desa secara optimal dengan dasar pengelolaan yang ramah lingkunga
4.        Pokmas Konservasi, bertugas menjaga lingkungan dan potensi desa, kelestarian sumberdaya alam darat dan laut serta keseimbangan alam.
5.        Pokmas Gender, bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan perbaikan pola hidup keluarga dengan pemberdayaan dan pengakuan hak kaum perempuan di desa untuk dapat berperan dalam pembangunan desa
6.        Dewan Pertimbangan Desa
Pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan berbasis masyarakat ini adalah pendekatan secara partisipatif sehingga masyarakat bisa menentukan sendiri keinginannya dalam membangun desanya terutama dalam pengelolaan terumbu karang yang mana tiap desa berbeda pengelolaannya karena perbedaan kebutuhan dan kondisi geografis yang berbeda pula.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan adalah :
1.        Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) merupakan bagian penting dalam pengeloaan berbasis masyarakat. RPTK merupakan jawaban atas segala permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang. RPTK merupakan pedoman pelaksanaan pengelolaan terumbu karang. RPTK merupakan dokumen perencanaan masyarakat yang disepakati dan akan dilaksanakan oleh masyarakat. Dokumen ini menghimpun segala sumberdaya yang mungkin dikerahkan oleh masyarakat dalam pengeloaan kawasan mereka. Sebagaimana dokumen perencanaan, apalagi dokumen milik masyarakat, maka sudah selayaknya dokumen ini diketahui oleh banyak pihak, terbuka. Karena proses perencanaannya juga merupakan perencanaan partisipatif.


2.        Mata Pencaharian Alternatif
Karena telah banyaknya terumbu karang yang rusak, tentu saja akan mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan yang tentu berpengaruh dalam tingkat pendapatan ekonomi, untuk itu diberikan kepada masyarakat beberapa mata pencaharian alternatif selain menangkap ikan seperti pembuatan keramba (marine culture), kerajinan tangan, menjahit, ternak ayam, kebun sayuran dan pembuatan makanan dan kue-kue.
3.        Penetapan Kawasan Lindung
Menetapkan suatu daerah yang masih belum terlalu rusak terumbu karangnya dan masyarakat menjaga daerah tersebut dari kegiatan-kegiatan yang merusak karang seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan diharapkan kawasan tersebut sebagai kawasan budidaya terumbu karang.
4.         Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam setiap program. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam program ini lenih diarahkan kepada pelaksanaan program oleh masyarakat setelah masyarakat membuat rencana tindak lanjut untuk pelaksanaan program COREMAP. Jika rencana tindak lanjut tersebut telah disepakati, maka rencana tersebut harus dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam pelaksanaan rencana tersebut terus menerus dilakukan pengawasan dan pemantauan oleh masyarakat. Di akhir program akan dilaksanakan evaluasi oleh masyarakat untuk menilai hasil pekerjaan mereka sendiri serta merencanakan perbaikan untuk pelaksanaan selanjutnya. (Yuniarti, 2007) 
H.      Padang Lamun
Lamun (Seagrass) atau disebut ilalang laut merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang terdapat di perairan pantai dangkal yang mampu beradaptasi sepenuhnya dalam perairan laut. Kadang-kadang membentuk komunitas yang lebih hingga merupakan padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem utama pada perairan dangkal yang sangat kompleks dan merupakan sumberdaya laut yang cukup potensial, karena memiliki fungsi fisik, ekologis dan ekonomis yang sangat penting. Padang lamun dapat ditunjukan pada gambar 9. Fungsi ekologis padang lamun diantaranya adalah sebagai daerah asuhan, daerah pemijahan, daerah mencari makan, dan daerah untuk mencari perlindungan berbagai jenis biota laut seperti ikan, crustasea, moluska, echinodermata, dan sebagainya  Tumbuhan lamun itu sendiri merupakan makanan penting dugong (Dugong dugon) dan penyu hijau (Chelonia mydas) dan bertindak sebagai “jebakan sedimen dan nutrient” Lamun juga mendukung kehidupan banyak jenis herbivor dan detritivor yang menjadi dasar dalam rantai makanan di lautan. Lamun memiliki sistem perakaran dan rhizoma yang intensif. Sistem rhizoma membentuk daun lamun menjadi lebat, sehingga dapat mengurangi gerakan air serta mengendapkan partikel tersuspensi ke dasar perairan. Lamun dapat pula menghasilkan bahan organik melalui daun yang telah membusuk serta melalui organisme yang hidup di lamun seperti epifik dan fitoplankton. Padang lamun dapat pula berperan sebagai peredam ombak alami yang dapat menghambat pergerakan air membuat perairan di daerah tersebut menjadi tenang .  Keadaan tersebut dapat menjaga pantai dari proses abrasi. Padang lamun dapat berfungsi sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan di bawahnya.  (Ira, 2013)
Gambar 28. Ekosistem Padang Lamun
a.      Kerusakan Ekosistem Lamun
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan yang cukup rentan terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga mudah mengalami kerusakan. Ekosistem lamun juga sering dijumpai berdampingan atau saling tumpang tindih dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Bahkan terdapat interkoneksi antar ketiganya, dimana ekspor dan impor energi dan materi terjadi diantara ketiganya. Ada ikan jenis-jenis tertentu dapat berenang melintas batas dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya.
Karena fungsi lamun tak banyak dipahami, banyak padang lamun yang rusak oleh berbagai aktivitas manusia. Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 – 40 %.  Kerusakan ekosistem lamun antara lain karena reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-fishing).  Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten misalnya, telah melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari ( DKI Jakarta) telah berkurang sebanyak 25 % dari tahun 1999 hingga 2004. (Taurusman, et.al. 2009)
Kerusakan lamun juga dapat disebabkan oleh natural stress dan anthrogenik stress. Kerusakan-kerusakan ekosistem lamun yang disebabkan oleh natural stress biasanya disebabkan oleh gunung meletus, tsunami, kompetisi dan predasi. Anthrogenik stress bisa disebabkan :
1.      Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.
2.      Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh sinar matahari).
3.      Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak memupuk tambak).
4.      Water polution (logam berat dan minyak).
5.      Over fishing (pengambilan ikan yang berlebihan dan cara penangkapannya yang merusak).

Kegiatan di Padang Lamun dan Dampak Potensial yang Ditimbulkannya
No.
Kegiatan
Dampak Potensial
1
Pengerukan dan pengurungan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri, saluran navigasi.
·         Perusakan total padang lamun.
·         Perusakanhabitat di lokasi pembangunan hasil pengerukan.
·         Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air,  terlapisnya insang hewan air.
2
Pencemaran limbah industri, terutama logam berat,  senyawa organoklorin
·         Terjadi akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification.
3
Pembuangan sampah organik
·         Penurunan kandungan oksigen terlarut.
·         Dapat terjadieutrofikasi yg mengakibatkan blooming (peledakan) perifiton yg menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yg dpt menghalangi CM
4
Pencemaran oleh limbah pertanian
·         Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun.
·         Pencemaran pupuk mengakibatkan eutrofi kasi di perairan padang lamun & sekitarnya.
5
Pencemaran minyak
·         Lapisan minyak pd daun lamun dapat mengha langi proses fotosintesa.
·         Mematikan tumbuhan lamun
6
Pemanfaatan SD padang lamun
·         Perubahan  struktur vegetasi padang lamun.
·         Perubahan substrat dasar padang lamun yg dpt mengganggu pertumbuhan lamun.
·         Menurunnya fungsi padang lamun sebagai habitat utama berbagai biota laut

b.      Konservasi Ekosistem Lamun
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam  diberikan porsi yang lebih besar. Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakat. (Taurusman, et.al. 2009).
1.      Berwawasan Lingkungan.
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
2.      Pengelolaan Berbasis Masyarakat.
Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimanan pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah co-management(pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan. Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut.
Menurut Dahuri (2003), pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.

c. Rehabilitasi Padang Lamun
Menurut (Taurusman, 2009), merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguaun utama dari aktivitas manusia maka untuk merehabilitasinya dapat dilakukan melalui dua pendekatan: yakni ; 1) Rehabiltasi lunak (soft Rehabilitation), dan 2) rehabilitasi keras (Hard Rehabilitation)

Rehabilitasi Lunak
Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan asumsi jika akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasidirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi   lunak   lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia.
Rehabilitasi lunak mencakup hal-hal sebagai berikut:
1)      Kebijakan  dan strategi pengelolaan.  Dalam pengelolaan lingkungan diperlukan kebijakan dan strategi yan jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan oleh para pemangku kepentingan (stakeholdes).
2)      Penyadaran masyarakat (Public awareness). Penyadaran masyarakat dapa dilaksanakan dengan berbagai pendekatan.
3)      Pendidikan. Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingnya melestarikan lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat jalan pendidikan formal dan non-formal.
4)      Pengembangan riset. Diperlukan untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk mendasari pengambilan Keputusan dalam pengelolaan lingkungan.
5)      Mata pencaharian yang alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk mengembangkan mata pencarian alternatif yang ramah lingkungan yang  dapat dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera akan lebih mudah diajak untuk menghargai dan melindungi lingkungan.
6)      Pengikut sertaan masyarakat Pertisipasi masyrakat dalam berbagai kegiatan lingkungan dapat memberi motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin keberlanjutanya. Kegiaan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya merupakan bagian dari kegiatan ini.
7)      Pengembangan   Daerah   Pelindungan   Padang   Lamun   (segrass   sanctuar) berbasis masyarakat. Daerah perlidungan padang lamun merupakan bank sumberdaya yang dapat lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. 
8)      Peraturan perundangan. Pengembangan peraturan perundangan perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan masyarakat luas. Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu dihargai dan dikembangkan.
9)      Penegakan huku secara konsisten. Segala peraturan perundangan tidak akan ada dimankan bila tidak ada ditegakan secara konsisten. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum perlu diperkuat, termasuk lembaga-lembaga adat.

Rehabilitasi Keras
Rehabiltsi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan dilapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun dilingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun di Indonesia belum berkembang luas. Berbagai percobaan transplantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI domics yang masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantasi lamun telah dilaksanakan diluar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Rehabilitasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun belum berkembang luas di Indonesia. Berbagai percobaan transpalantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantaasi lamun telah dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan.

Penanaman Lamun
Penanaman lamun dilakukan pada lokasi yang telah dipilih berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Setelah kegiatan penanaman 1,  tahap selanjutnya dilakukan secara bertahap setiap bulan di lokasi rehabilitasi, yang bertujuan memperluas wilayah yang ditanam dan mengganti jika terdapat tanaman lamun yang mati atau rusak. Penanaman lamun dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut (e.g. Fonseca et al. 1998 in Calumpong and Fonseca, 2001 dalam Taurusman, et.al¸(2009):
1.      Metode TERFs
TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system) merupakan metode transplantasi lamun yang dikembangkan oleh F. T. Short di Universitas of New Hampshire, USA (Short et al. 2001 dalam Taurusman, et.al¸(2009)). TERFs adalah unit penanaman lamun berupa tunas yang diikat pada frame besi (TERFs frame). Pada metode ini beberapa tunas lamun dengan jarak tertentu diikatkan pada frame besi dengan menggunakan material yang mudah larut seperti kertas tissue. Setiap rimpang yang bertunas muda yang diambil dari donor diikatkan ke sisi rak dengan menggunakan kertas tissue. Kemudian tanaman lamun dan frame diletakkan di atas substrat dasar dengan sedikit tekanan sehingga frame besi bagian bawah dapat masuk beberapa centimeter ke dalam substrat dasar.  

2.      Metode Plug
Merupakan pengambilan bibit tanaman dilakukan dengan pipa PVC dengan diameter 10,15 cm. Tanaman donor dipindahkan dengan substratnya pada lokasi rehabilitasi yang terlebih dahulu dipersiapkan lobangnya dengan PVC corer. Pada kegiatan ini corer yang digunakan adalah sebuah pipa paralon yang dapat diatur tingkat kevakumannya dengan sebuah valve kontrol udara di ujung atas tabung tersebut. Penggunaan alat ini adalah untuk mengambil tanaman lamun secara lengkap dari lokasi donor beserta sekaligus substrat dasarnya.

3.      Metode Sod/Turfs
Pada lokasi-lokasi dimana substrat dasarnya yang keras (ditutupi pecahan karang mati) dan dangkal, digunakan teknik Sod/Turfs, yakni dengan prinsip yang sama dengan metode plug, tapi alat bantu corer diganti dengan skop. Turfs adalah sebuah unit tanaman lamun beserta akar dan rimpangnya dengan luas sekitar 0,1 m2 yang digali dan dipindahkan dari tempat donor dengan sebuah skop. Unit dibawa ke lokasi penanaman dan unit transplantasi lamun ditanam dengan cara dimasukan pada sebuah lubang yang sebelumnya telah dipersiapkan.

4.      Metode modifikasi peat pot
Menurut Calumpong and Fonseca (2001) dalam Taurusman, et.al¸(2009) metode peat pot adalah metode transplantasi lamun yang menggunakan wadah dalam kegiatan penanaman, wadah tersebut dapat berbentuk kotak ataupun bulat dan diharapkan akan terdegradasi secara alami, biasanya berukuran 8 cm x 8 cm. Dengan menggunakan metode ini lamun donor diambil dari lokasi yang memiliki kepadatan lamun tinggi dengan menggunakan cangkul ataupun corer.  Pada saat penanaman pot, lubang terlebih dahulu dipersiapkan, kemudian pot dibenamkan ke dalam lubang tersebut sedemikian rupa sehingga terkubur dalam substratnya dengan kokoh. Penggunaan corer dimaksudkan agar seluruh bagian lamun beserta substratnya dapat terangkat secara utuh. Modifikasi dilakukan dengan plastik polybag. Tanaman lamun lengkap dengan seluruh sistem perakaran beserta substrat asalnya yang diambil dengan menggunakan PVC Core dimasukkan ke dalam plastik polybag lalu ditanam di lokasi transplantasi.






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Konservasi perairan di Indonesia telah muncul sejah zaman majapahit, kemudian berlanjut saat masa pemerintahan Belanda terutama dalam pengaturan sistem pengelolaan air. Sumberdaya pesisir dan laut mendapat perhatian lebih besar dengan berdirinya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tahun 1999, yang kemudian berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan dan terakhir berubah nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk menangani kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya pesisir dan laut, kementerian membentuk Direktorat Konservasi dan Taman nasional Laut (KTNL).
2.    Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup.
3.    Konservasi ekosistem air tawar (sungai dan danau) dapat dilakukan dengan membentuk kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat antara lain dengan penanaman pohon, pemantauan kualitas air dan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai ataupun danau.
4.    Konservasi wilayah pesisir mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi lingkungan hidup.
5.   
55
Konservasi Estuaria menurut Kastolani (2012), meliputi kegiatan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian. Deskripsi kegiatannya adalah sebagai berikut: Pemanfaatan (Budidaya biota estuaria, nipah sebagai bahan baku gula dan energi bioetanol), Perlindungan (Memonitor pembabatan tumbuhan, dan pengambilan hewan di estuaria) dan Pelestarian (Penanaman nipah, pembibitan biawak, ikan, dan lain-lain.)
6.    Konservasi ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukannya dapat dikelompokkan menjadi: (a) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai cagar alam, (b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka margasatwa, (c) kawasan konservasi perlindungan alam, (d) kawasan konservasi jalur hijau penyangga, (e) kawasan hutan produksi mangrove, dan (f) kawasan ekosistem wisata mangrove.
7.    Luas terumbu karang yang ada di Indonesia sekitar 51.000 km2 diperkirakan hanya 7 % terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 33 % baik, 45 % rusak dan 15 % lainnya kondisinya sudah kritis). Bentuk usaha konservasi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan teknik transplantasi karang, dan memberdayakan masyarakat yang berada di sekitar wilayah pesisir/pantai untuk terlibat aktif dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Adapun bentuk konservasi terhadap terumbu karang telah dilakukan hampir di seluruh kawasan pesisir pantai Indonesia. Kegiatan konservasi melibatkan peran aktif masyarakat dan organisasi lingkungan hidup.
8.    Keberadaan padang lamun di Indonesai belum menunjukan tingkat kerusakan yang parah. Namun di bebrapa daerah seperti di kalimantan keberadaan lamun  sudah semakin terancam.  Bentuk rehabilitasi lamun biasanya terdiri dari dua jenis yaitu rehabilitasi keras dan rehabilitasi lunak. Rehabilitasi keras melibatkan pemberdayaan masyarakat di daerah sekitar padang lamun sedangkan rehabilitasi lunak dilakukan dengan melakukan penanaman lamun.

B.       Saran
Pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kami menyarankan kepada pembaca agar dapat membaca referensi lain yang berhubungan dengan materi ini. Dengan harapan semoga materi ini bermanfaat dan menjadi sebagai salah satu bacaan mengenai konservasi ekosistem air (Danau dan Sungai) dan laut (pantai, estuaria, mangrove, padang lamun dan terumbu karang).

DAFTAR PUSTAKA

Adiprima, Khrisna P. Dan Sudradjat, Arief. 2012. Kajian Kesesuaian Lahan Tambak, Konservasi dan Permukiman Kawasan Pesisir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Pesisir Pangandaran, Jawa Barat). Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Amelia. 2013. Konservasi Wilayah Pesisir. Jurnal Lingkungan Hidup. (Online) diakses pada tanggal 23 Januari 2014.
Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dahuri, R., Rais, Y., Putra, S.G., Sitepu, M.J., 2001.  Pengelolaan Sumber daya Wilayah  Pesisir  dan  Lautan  Secara  Terpadu.  Jakarta: PT.  Pradnya  Paramita.
Dermawan dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu.  Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Harger, J.R.E., 1982. Major problems in the functional anlysis of mangroves in South East Asia. Paper presented at The Symposium On Mangrove Forest Ecosystem Productivity, April 20-22, 1982, Bogor.
Ira, 2013. Partikel Tersuspensi dan Bahan Organik yang Terperangkap Pada Daerah Lamun dan Daerah Tidak ada Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo Makassar. Jurnal Aqua sains, (Online), (jurnal.fp.unila.ac.id), diakses 24 Januari 2014.

Kastolani, Wanjat. 2012. Strategi Konservasi Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, 19 Juli 2012.
Kementrian Konservasi Perairan. 2013. Mengenal Potensi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, (Online).
Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pesisir Indonesia. KeSEMaT, Semarang.
Santoso dan Kardono, 2008. Teknologi Konservasi Dan Rehabilitasi Terumbu Karang. Jurnal Teknologi Lingkungan (9): 3,(Online).
Snedaker, S.C., 1978. Mangroves: their value and perpetution. Nature and Resources 14: 6-13.
Supriharyono. 2000.  Pelestarian dan Pongelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Taurusman, et.al. 2009. Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. Jakarta
Wijayanti, T., 2007, Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan, Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya
Yuniarti. 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Studi Kasus: Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat Di Kepulauan Riau), (Online), (www. dostoc.com), diakses 24 Januari 2014.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TEKNIK PENANGKAPAN IKAN (BUBU)

MAKALAH TEKNIK BUDIDAYA SEMI INTENSIF

MAKALAH EKOLOGI IKAN ( ADAPTASI IKAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU )